KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tak seperti emiten teknologi di Amerika Serikat (AS), kinerja saham emiten sektor teknologi di Bursa Efek Indonesia (BEI) terbilang melempem. Ekspektasi pemangkasan suku bunga dan antisipasi pasar menjelang musim rilis kinerja belum menjadi sentimen signifikan bagi saham teknologi di BEI. Pada perdagangan Selasa (23/1), indeks saham IDX Teknologi merosot 0,69%. Membawa IDX Teknologi pada posisi minus 5,84% secara year to date. Turun paling dalam dibandingkan indeks sektoral lainnya.
Berbeda nasib dengan perusahaan teknologi di Amerika Serikat (AS) yang ikut mengangkat indeks utama Wall Street. Gairah investor telah mendongkrak indeks utama Wall Street pada awal pekan ini, dimana S&P 500 dan Dow Jones mampu menyentuh rekor tertinggi baru. Head of Research NH Korindo Sekuritas Indonesia Liza Camelia Suryanata mengamati situasi ini didukung oleh saham sektor teknologi AS yang terus melaju menjelang musim laporan keuangan. Selain mengantisipasi rilis kinerja, sektor ini juga terangkat oleh optimisme pasar terkait prospek Artificial Intelligence (AI) dan perusahaan chip semikonduktor. Sayangnya, momentum tren mendaki saham teknologi di AS tidak terjadi pada sektor teknologi di Indonesia. "Kondisinya berbeda, sehingga kita tidak bisa mengharapkan sentimen yang sama," kata Liza kepada Kontan.co.id, Senin (23/1).
Baca Juga: Wall Street Melesat, S&P 500 Mengincar Rekor Tertinggi Baru Karena Momentum Bullish Selain jumlah emiten yang masih terbatas, segmen bisnis emiten teknologi di sini juga belum beragam dibandingkan AS. Emiten teknologi dengan bobot jumbo masih didominasi oleh segmen e-commerce seperti PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO), PT Global Digital Niaga Tbk (BELI) dan PT Bukalapak.com Tbk (BUKA). Apalagi dari sisi performa fundamental dan kinerja keuangan, sebagian emiten teknologi di Indonesia masih punya banyak catatan. "Masih banyak muatan utang-nya, juga masih dalam kondisi net loss. Jadi nggak bisa disamakan walau mereka sama-sama di sektor teknologi," imbuh Liza. Research Associate Panin Sekuritas Sarkia Adelia Lukman sepakat, pergerakan bursa di AS terutama S&P 500 menunjukkan tren kenaikan tertinggi sejak Januari 2022 yang didorong oleh rebound-nya saham-saham teknologi. Sedangkan kinerja sektor teknologi di Indonesia terkontraksi lantaran masih banyak yang mencatatkan kerugian. "Penguatan saham teknologi di Wall Street tidak akan memberikan dampak signifikan ke saham teknologi Indonesia, karena saham-saham teknologi di Indonesia belum se-mature saham teknologi di AS," kata Sarkia. Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan menambahkan, sentimen dari Wall Street hanya akan memberikan dampak yang terbatas bagi prospek saham teknologi di Indonesia. Apalagi untuk bisa mendorong indeks, saham teknologi di BEI punya kapasitas yang berbeda dibanding saham teknologi di Wall Street yang memiliki kapitasilisasi pasar besar. Dengan skala bisnis yang berbeda, sentimen pelaku pasar terhadap rilis kinerja emiten teknologi di AS dan di Indonesia juga akan berbeda. "Antisipasi terhadap rilis kinerja keuangan Q4-2023 emiten sektor teknologi di Indonesia di tengah suku bunga yang tinggi masih akan memberatkan saham-saham ini," terang Valdy.
Menunggu Pemangkasan Suku Bunga
Arah kebijakan bank sentral terhadap suku bunga acuan akan menjadi sentimen krusial bagi saham sektor teknologi. Toh, Valdy mengungkapkan bahwa penguatan indeks utama Wall Street juga terdorong oleh prospek penurunan suku bunga acuan The Fed. "Perilaku pelaku pasar yang antisipatif terhadap penurunan suku bunga The Fed membuat investor kembali memasuki instrumen keuangan yang memiliki risiko lebih tinggi, terutama saham. Hal ini yang membuat tren bullish di Wall Street," ungkap Valdy. Sarkia menimpali, jika The Fed memangkas tingkat suku bunga pada tahun ini, saham-saham teknologi di Indonesia akan ikut terpapar bias positif. "Ini akan memberikan keuntungan bagi saham teknologi e-commerce," imbuh Sarkia.
Baca Juga: Simak Proyeksi IHSG dan Rekomendasi Saham untuk Perdagangan Rabu (24/1) Head of Research Mega Capital Sekuritas (InvestasiKu) Cheril Tanuwijaya menambahkan, penurunan tingkat suku bunga akan memangkas beban keuangan emiten teknologi. Sehingga prospek saham teknologi di Indonesia akan lebih menarik, baik pada segmen e-commerce maupun di luar itu. Hanya saja, dampaknya tetap tidak akan sesignifikan pada saham teknologi di AS. "Di sana perusahaan teknologinya sudah profit, mature. Sedangkan di sini perusahaan masih berjuang menutupi kerugian & masih relatif baru," ungkap Cheril. Mengacu pada petinggi The Fed, pemangkasan suku bunga berpotensi terjadi pada kuartal III. Sehingga, Cheril memperkirakan saham teknologi baru menarik pada periode semester II-2024. Dus, untuk saat ini Cheril menyarankan
wait and see terlebih dulu. Sarkia punya rekomendasi serupa, dia menyarankan hold atau wait and see terhadap saham teknologi, apalagi untuk emiten yang dari sisi bottom line masih tertekan. Sedangkan Valdy menyarankan untuk mengamati kinerja emiten pada kuartal IV dan full year 2023.
Dia memprediksi, tren positif secara selektif pada sejumlah emiten akan berlanjut. Tapi perlu dicermati juga kecenderungan tekanan pada kinerja, terutama dari sisi cost of fund saat suku bunga masih relatif tinggi. Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia, Sukarno Alatas ikut menyarankan
wait and see terlebih dulu. Alasannya, secara teknikal masih belum ada sinyal yang menunjukkan tren naik kembali. Begitu juga dari sisi fundamental, belum ada sinyal kuat untuk bisa menghasilkan laba. Meski begitu, ada potensi perbaikan kinerja, terutama pada saham teknologi seperti BUKA, GOTO dan BELI. Jika investor berminat melirik saham teknologi, bisa pertimbangan mengoleksi tiga saham e-commerce tersebut dengan strategi
buy on weakness. "Tapi tetap tunggu rilis kinerja selanjutnya untuk bisa buy atau hold jangka panjang," tandas Sukarno. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Khomarul Hidayat