Dibalik molornya perubahan aturan RDPT



JAKARTA. Beleid anyar reksadana penyertaan terbatas (RDPT) tak kunjung diketuk palu. Bahkan, draft perubahan beleid yang sudah dibuat sebelumnya sudah kembali dirombak.

Hal tersebut diakui Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal Nurhaida."Sedang dalam pembahasan. Nanti kalau sudah selesai akan di share ke publik," ujarnya kepada KONTAN.

Namun, dia tidak menjelaskan apa alasan perombakan draf tersebut. Ditengarai, perubahan ini lantaran masih ada pro dan kontra terkait pangaturan RDPT portfolio efek.


Asal tahu saja, aturan RDPT portfolio efek ini diterbitkan pada tahun 2008 silam. Dalam penghitungan ini, nilai aktiva bersih (NAB) RDPT portfolio efek tidak harus sesuai nilai pasar.

NAB bisa dihitung berdasarkan harga pembelian efek. Sehingga, nilai dana investasi tidak akan tergerus ketika harga efek yang bersangkutan turun. Alhasil, laporan investasi investor pun tetap kinclong.

Nah, ketika aturan ini diterbitkan, terjadi gejolak hebat di pasar keuangan. Harga saham dan obligasi merosot tajam. Nah, produk investasi itu kemudian dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan asuransi dan dana pensiun (dapen) untuk memoles laporan keuangan hasil investasinya.

Menurut informasi yang diterima KONTAN, mayoritas atau sekitar 80% institusi yang memarkirkan dananya di produk RDPT portofolio efek ini adalah perusahaan pelat merah alias BUMN. Total dana kelolaan masih sekitar Rp 32 triliun.

Pada tahun 2010,  Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam LK) mengeluarkan surat edaran (SE). Isinya, produk RDPT harus memiliki aset dasar sektor riil.

Alhasil, investor tak diperkenankan melakukan tambahan investasi (top up) pada RDPT portofolio efek. Sementara itu, pada draf perubahan aturan RDPT oleh OJK (Otoritas Jasa Keuangan) disebutkan, RDPT hanya diperbolehkan berinvestasi pada efek yang tidak ditawarkan melalui penawaran umum guna pendanaan sektor riil.

Manajer investasi yang telah mengelola RDPT portfolio efek wajib menyesuaikan dengan peraturan ini paling lambat tiga tahun sejak peraturan ini ditetapkan. Artinya, RDPT portfolio efek harus dibubarkan.

Semula, OJK menargetkan, aturan ini terbit 2014. Namun, hingga kini masih terdapat pro dan kontra terkait aturan ini. Kabarnya, ada tiga opsi menjadi pertimbangan pembahasan.

Pertama, RDPT sektor riil dibuat aturan baru, sedangkan RDPT efek mengacu pada aturan lama.

Kedua, aturan RDPT dirombak dan khusus dibuat untuk RDPT sektor riil. Sementara RDPT efek diberi tenggat waktu sebelum dibubarkan.

Ketiga, aturan RDPT sektor riil dan RDPT efek dibuat aturan baru. Namun, pada aturan baru RDPT efek ditentukan harus dihitung berdasarkan marked to market

Saat ini, salah satu manajer investasi yang masih memiliki RDPT portfolio efek adalah PT Bahana TCW Investment Management. Direktur Utama Bahana TCW Investment Management Edward Lubis mengatakan, RDPT itu memiliki underlying asset obligasi. Nilainya sekitar Rp 1 triliun.

Menurutnya, tidak ada masalah pada RDPT efek yang dia miliki. Pasalnya, harga obligasi akan kembali di harga par ketika jatuh tempo.  

"Yang sulit disesuaikan itu jika efeknya saham," kata Edward. Sayangnya, dia enggan menyebutkan manajer investasi yang masih memiliki produk RDPT portfolio efek ber-underlying saham.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Asnil Amri