BANGKOK. Pemerintah Thailand bersikeras untuk tetap melaksanakan pemilihan umum seperti jadwal semula, yakni pada Minggu, 2 Februari 2014. Rencana ini akan tetap dijalankan meski adanya peringatan bahwa pelaksanaan pemilu akan berakhir dengan kekerasan yang dapat mengakibatkan Thailand tidak akan memiliki pemerintahan selama enam bulan. Keputusan ini diambil setelah Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra menggelar pertemuan dengan Komisi Pemilihan Umum. Terkait hal tersebut, banyak pihak yang meragukan bahwa pemerintah Thailand saat ini akan mampu mengatasi aksi demonstrasi yang sudah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Pertemuan tersebut berlangsung di kompleks Army Club. Saat pertemuan berlangsung, dua orang terkena tembakan saat bergabung melakukan aksi unjuk rasa dengan 500 orang lainnya di komplek yang sama. Selain itu, pada akhir pekan lalu, salah seorang pimpinan anti pemerintah ditembak mati dan 10 orang lainnya terluka setelah terjadi bentrokan di Bangkok. Aksi demonstrasi di Thailand merupakan guncangan terkini dalam konflik politik yang sudah menghantui Thailand selama delapan tahun. Konflik tersebut secara umum terbagi dua, yakni kelas menengah Bangkok dan loyalis pemerintah yang mayoritas berasal dari warga miskin dan warga pedesaan. Kelompok kelas menengah Bangkok menolak pelaksanaan pemilu karena menganggap partai Yingluck akan sangat mudah untuk menang. Mereka ingin menunda pemerintahan demokrasi yang mereka anggap rentan karena masih dipengaruhi oleh kroni-kroni Thaksin Shinawatra, mantan PM Thailand yang terjerat kasus korupsi.Sebagai bagian dari aksi kampanye mereka, pelaku demonstrasi sudah mengganggu persiapan pelaksanaan pemilu dan pemilihan awal. Di sejumlah konsituen, kandidat tidak dapat melakukan pendaftaran dan kemungkinan akan sulit terjadi kuorum untuk membentuk parlemen atau memilih anggota pemerintahan. "Hasil pemilu kemungkinan tidak akan menghasilkan cukup kursi. Dibutuhkan waktu sekitar empat hingga enam bulan untuk membentuk parlemen," jelas Somchai Srisutthiyakorn, salah satu anggota Komisi Pemilu.
Dibayangi bentrokan, Thailand ngotot gelar Pemilu
BANGKOK. Pemerintah Thailand bersikeras untuk tetap melaksanakan pemilihan umum seperti jadwal semula, yakni pada Minggu, 2 Februari 2014. Rencana ini akan tetap dijalankan meski adanya peringatan bahwa pelaksanaan pemilu akan berakhir dengan kekerasan yang dapat mengakibatkan Thailand tidak akan memiliki pemerintahan selama enam bulan. Keputusan ini diambil setelah Perdana Menteri Thailand Yingluck Shinawatra menggelar pertemuan dengan Komisi Pemilihan Umum. Terkait hal tersebut, banyak pihak yang meragukan bahwa pemerintah Thailand saat ini akan mampu mengatasi aksi demonstrasi yang sudah berlangsung selama beberapa bulan terakhir. Pertemuan tersebut berlangsung di kompleks Army Club. Saat pertemuan berlangsung, dua orang terkena tembakan saat bergabung melakukan aksi unjuk rasa dengan 500 orang lainnya di komplek yang sama. Selain itu, pada akhir pekan lalu, salah seorang pimpinan anti pemerintah ditembak mati dan 10 orang lainnya terluka setelah terjadi bentrokan di Bangkok. Aksi demonstrasi di Thailand merupakan guncangan terkini dalam konflik politik yang sudah menghantui Thailand selama delapan tahun. Konflik tersebut secara umum terbagi dua, yakni kelas menengah Bangkok dan loyalis pemerintah yang mayoritas berasal dari warga miskin dan warga pedesaan. Kelompok kelas menengah Bangkok menolak pelaksanaan pemilu karena menganggap partai Yingluck akan sangat mudah untuk menang. Mereka ingin menunda pemerintahan demokrasi yang mereka anggap rentan karena masih dipengaruhi oleh kroni-kroni Thaksin Shinawatra, mantan PM Thailand yang terjerat kasus korupsi.Sebagai bagian dari aksi kampanye mereka, pelaku demonstrasi sudah mengganggu persiapan pelaksanaan pemilu dan pemilihan awal. Di sejumlah konsituen, kandidat tidak dapat melakukan pendaftaran dan kemungkinan akan sulit terjadi kuorum untuk membentuk parlemen atau memilih anggota pemerintahan. "Hasil pemilu kemungkinan tidak akan menghasilkan cukup kursi. Dibutuhkan waktu sekitar empat hingga enam bulan untuk membentuk parlemen," jelas Somchai Srisutthiyakorn, salah satu anggota Komisi Pemilu.