Didi sulap kayu bekas menjadi furnitur & CPU komputer



Didi Diarsa Adiana adalah sosok kreatif yang menyulap kayu bekas peti kemas menjadi furnitur. Kayu-kayu tak terpakai itu dipoles menjadi barang bernilai jual tinggi. Tak hanya kayu bekas saja, saat ini Didi juga memadukan kayu bekas dengan CPU komputer bekas. Alhasil ada sekitar 300 sekolah yang menjadi klien tetapnya.Salah satu produsen furnitur berbahan baku kayu bekas peti kemas adalah Didi Diarsa Adiana. Pemilik merek dagang Furniture Aktif ini mulai menggunakan kayu bekas peti kemas sebagai bahan baku furnitur sejak tahun 2006.Didi terinspirasi menyulap kayu bekas menjadi furnitur setelah berkunjung ke Finlandia. Pria yang sebelumnya berprofesi sebagai guru sekolah swasta di Parung, Bogor, ini melihat di negara tersebut banyak furnitur yang terbuat dari kayu bekas sebagai bahan baku utama. Dan kebetulan sekali, tidak jauh dari tempat tinggalnya di Depok, Jawa Barat, Didi menemukan banyak kayu bekas peti kemas yang tidak terpakai.Pertama kali menjajal bisnis ini, Didi mencoba membuat peralatan sekolah seperti bangku dan kursi untuk kebutuhan tempat mengajarnya sendiri. Tidak disangka, banyak guru sekolah lain yang tertarik dengan hasil karyanya. Ketertarikan mereka terutama setelah mengunjungi dan melihat sendiri furnitur buatan tangan Didi.Ketertarikan kolega guru dari sekolah lain memunculkan ide di kepala Didi. Ia menangkap peluang untuk mulai berbisnis dan berusaha furnitur dari kayu bekas. "Awalnya cuma satu sekolah, lama-lama banyak sekolah yang memesan ke saya," ujar pria berusia 36 tahun itu.Sejak memulai usaha furnitur dari kayu bekas peti kemas empat tahun lalu, sudah ada sekitar 300 sekolah yang menjadi klien tetap Didi. Sekolah-sekolah itu tidak hanya berasal dari Jabodetabek, namun tersebar di wilayah lain seperti Bandung, Yogyakarta, Padang hingga Lampung.Sebagian besar sekolah yang menjadi klien tetap Didi adalah sekolah swasta bertaraf internasional. "Ada juga sekolah negeri, tapi jumlahnya sedikit," katanya.Ia mengaku kesulitan untuk menembus pasar sekolah negeri karena wajib mengikuti segala macam prosedur yang lebih rumit termasuk tender pengadaan barang agar bisa menjadi pemasok barang. "Lebih gampang memasok sekolah swasta," katanya.Toh, pasarnya berkembang tidak hanya di sekolah dan dunia pendidikan. Saat ini Didi juga telah memasarkan produknya untuk memenuhi kebutuhan furnitur perkantoran. Walau pesanan relatif lebih sedikit dibandingkan kebutuhan sekolah, hasilnya tetap lumayan.Ia menerangkan, selama ini permintaan dari sekolah mencapai 70% omzetnya, sementara pesanan untuk memenuhi kebutuhan kantor hanya sebesar 30% dari seluruh total pesanan. Didi mengakui bahwa porsi pesanan dari sekolah paling menguntungkannya. "Kalau sekolah yang pesan, sekali pesan pasti dalam jumlah banyak," imbuhnya.Sudah begitu, sekolah selalu membutuhkan peralatan dan furnitur baru tiap tahun untuk memperbaharui yang sudah rusak maupun penambahan kelas baru. "Kebanyakan klien melakukan pembaharuan furnitur tiap tiga tahun," katanya. Dengan kondisi ini, Didi yakin usahanya akan terus berkembang maju.Ia mengatakan, pesanan paling ramai adalah saat masuk tahun ajaran baru pada bulan Juni-Juli. Pada saat-saat itu ia sempat kewalahan melayani pesanan. Sekali order, nilainya bisa mencapai Rp Rp 30 juta per sekolah. Sedangkan jumlah pesanan yang masuk tidak hanya satu atau dua sekolah saja. Sayang, Didi masih enggan untuk mengatakan berapa omzet per bulan yang dia peroleh selama ini.Walau menggunakan kayu bekas, Didi berusaha mendesain produknya sehingga lebih atraktif dan lebih bermanfaat. Salah satu contohnya yaitu produk meja yang berbentuk setengah lingkaran. Meja itu dipadukan dengan kursi yang berada di tengah dengan posisi melingkar juga. Desain meja seperti itu, dimaksudkan untuk membantu guru dalam mengajar termasuk menciptakan suasana belajar mengajar yang lebih akrab antara guru dan murid. Konsep itu mengacu pada sekolah yang menggunakan sistem belajar aktif. "Ini membantu sekolah merubah sistem pengajaran klasik menjadi aktif," kata Didi yang saat ini sudah tidak aktif lagi menjadi guru dan lebih terfokus pada bisnis furniture. Ide-ide kreatif ini membuat Didi diangkat menjadi sebagai salah satu finalis International Young Creative Entrepreneur Award (IYCE) tahun 2009.Ide kreatif Didi tidak hanya berhenti di situ saja. Saat ini dia terus mengembangkan desain-desain furnitur baru termasuk mencoba menerapkan perpaduan bahan baku antara kayu bekas dengan barang-barang bekas lain untuk pembuatan furniture yang lebih menarik.Salah satu contoh pengembangan yang dia lakukan adalah dengan membuat meja belajar dengan memadukan kayu bekas dengan central processing unit (CPU) komputer bekas. Kayu bekas dipakai untuk alas meja, sedangkan CPU komputer bekas digunakan sebagai kaki-kaki dan laci meja. Dengan desain itu, selain lebih ramah lingkungan dan menarik juga bahan bakunya tidak sulit. Ide untuk memadukan kayu bekas dengan CPU bekas didapatnya sebulan lalu. Saat itu dia melihat tumpukan CPU komputer di wilayah tempat tinggalnya yang sudah tidak terpakai. Ia lalu membeli 30 unit CPU komputer bekas tersebut harga Rp 200.000.Tak sia-sia dia membeli CPU bekas tersebut. Sebab setelah di poles dan dipadukan dengan produk meja kayunya, harga mejanya menjadi Rp 400.000 per unit. Padahal kalau dihitung modal bahan baku yang dikeluarkan untuk tiap meja tidak lebih dari Rp 100.000. "Kalau bisa saya akan memproduksi furnitur dengan bahan 100% daur ulang," tutur bapak tiga anak ini.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Tri Adi