Dikemas siap saji, biar pasar meluas



KONTAN.CO.ID - Rasanya yang khas, masakan tradisional seringkali membuat lidah ketagihan. Sajian ini juga bisa menjadi obat rindu kampung halaman, saat waktu tak memungkinkan.  

Berbagai alasan ini menggelitik para pengusaha kuliner khas daerah untuk mengemas masakan mereka sehingga bisa dengan mudah dinikmati. Tentu saja, ada teknologi yang diselipkan dalam pengemasannya.  
 
Seperti Gudeg Bu Tjitro, yang mengalengkan gudegnya. Burhanul Akbar Pasha, generasi keempat sekaligus pendiri Gudeg Bu Tjitro mengatakan, langkah ini menjadi strategi untuk mendekatkan produk kepada konsumen. "Mereka tak perlu jauh-jauh untuk datang ke Yogya bila ingin makan gudeg," katanya. 
 
Dengan kemasan ini, masakan bisa bertahan hingga satu tahun. Alhasil, sering menjadi bawaan saat ke luar negeri. Danu juga bilang, meski awet, gudeg tak memakai bahan pengawet dan monosodium glutamat. 
 
Teknologi pengemasan yang tepat menjadi salah satu kuncinya. Selain iut, pilihan bahan baku juga ikut menentukan. Danu menggandeng LIPI dalam tahap riset serta trial and error. 
 
Ada empat varian gudeg yang dikemas dalam kaleng, antara lain original, pedas, dan blondo. Harganya Rp 26.000 per kaleng ukuran 250 gram. 
 
Dalam sebulan, total produksinya mencapai 20.000 kaleng. Pemprosesannya pun dilakukan di dapur pusat Gudeg Bu Tjitro di Yogyakarta, yang dikerjakan oleh 30 orang karyawan.  
 
Penjualan produk kaleng Gudeg Bu Tjitro melalui gerai ritel, distributor dan gerai pribadinya di Yogyakarta dan Jakarta. Rata-rata dalam sebulan, bisa terjual 10.000 sampai 15.000 kaleng. 
 
Amril, pemilik Restu Mande, yang menyajikan makanan khas Minang juga menuturkan, dengan produk kemasan siap saji, tidak hanya mampu mendekatkan produk kepada konsumen yang lokasinya jauh, tapi juga mendongkrak penjualan. 
 
Pasalnya, pasarnya tidak hanya dalam negeri tapi juga luar negeri. Belakangan, dia baru saja menjajal market Qatar dengan mengirimkan produk perdana sebagai langkah ujicoba tes pasar. Sebelumnya, dia pun dia kerap mengirimkan produknya ke Jeddah.   
 
Asal tahu saja, menu makanan buatannya adalah rendang dan juga aneka bumbu rempah-rempah khas Indonesia. " Untuk bumbu sudah banyak digunakan oleh restoran yang berada di Australia, Amerika, dan lainnya," katanya. 
 
Sama dengan sebelumnya, produknya mampu bertahan hingga satu tahun dan tidak menggunakan bahan pengawet dan penguat rasa. Meski begitu, dia menjamin rasa rendang tak akan berubah. 
Rendang Restu Mande dibanderol mulai dari Rp 45.000-Rp 85.000 per pak. Bumbunya Rp 22.500 per pak. Dalam sehari, laki-laki asal Padang, Sumatra Barat ini dapat memproduksi rendang sekitar 20 kilogram, diluar pesanan.                    Prospek bisnis masakan kemasan masih cerah

Mempertahankan dan memperluas pasar bisnis kuliner seiring dengan ramainya pemain baru memang bukan perkara mudah. Inovasi produk  menjadi kewajiban agar bisnis tetap eksis. 
 
Burhanul Akbar Pasha, generasi keempat sekaligus pemilik Gudeg Bu Cjitro mengatakan, potensi bisnis makanan kemasan ini besar lantaran banyak konsumen dari luar Yogyakarta justru tertarik mencicipinya.  
 
Hanya, Danu, panggilan Burhanul masih menghadapi kendala karyawan. Ia bilang, kesulitan mendapat karyawan sesuai standar. Selain itu, keterbatasan modal juga menjadi masalah, karena ia masih mengandalkan dana pribadi. "Dengan modal cekak, cukup sulit melakukan pengembangan alat produksi," tuturnya.
 
Danu pun berencana menambah mitra kerjasama penjualan untuk memperlancar aliran dana. Pasalnya, ada kalanya dana miliknya mengendap pada mitra karena produk belum terjual habis. 
 
Kedepan, Danu bakal kembali meluncurkan produk dengan menu baru yang juga dikemas dalam kaleng. "Kami ingin mengemas seluruh makanan khas Yogyakarta, misalnya oseng-oseng atau lainnya," tambahnya. Kini, mereka masih dalam tahap persiapan. 
 
Amril, pemilik Restu Mande asal Bandung, Jawa Barat ini juga mengamini soal potensi bisnis ini masih akan bagus kedepannya. Alasannya, kesibukan para kaum urban yang makin meningkat membuat mereka tidak berpikir untuk mengolah makanan di dapurnya.  
 
Dianggap sektor usaha yang bagus, membuat pemain baru makin banyak bermunculan. Laki-laki asli Padang, Sumatra Barat ini tidak ambil pusing dengan ketatnya persaingan tersebut. Karena, marketnya yang masih sangat besar serta dia sudah dikenal sebagai pioner untuk menu rendang instan. 
 
Meski begitu, Restu selalu memperhatikan kualitas untuk menjamin makanannya tidak berubah rasa dan dapat diterima konsumen. 
Hambatan yang ditemuinya saat ini adalah sulitnya menembus pasar manca negara. "Ada negara-negara yang memasang regulasi terhadap menu olahan daging yang bakal masuk ke negaranya," katanya. Inilah yang membuatnya sampai sekarang baru bisa menyasar dua negara Jeddah dan Qatar.
 
Selain itu, kurang stabilnya harga beli bahan baku, dia mengaku harus rela untuk mengantongi untung tipis saat salah satu harga rempah-rempah naik. 
 
Kedepan, dia menargetkan bakal terus memperluas pasar dalam dan luar negeri. Makanya, Amril bersama sang istri Nenden Rospiani getol melakukan promisi di berbagai channel mulai dari media sosial (Instagram, Facebook) sampai pameran. 
 
Dia mengaku pameran menjadi ajang paling strategis karena konsumen dapat langsung mencoba produknya. Tidak hanya itu, ajang tersebut dapat mempertemukannya dengan banyak buyer. 
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Johana K.