KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri sawit Indonesia kini tengah berkejaran dengan waktu untuk menggenjot peningkatan produksi agar bisa memenuhi target pemerintah dalam pemenuhan mandatori biodiesel dengan bauran minyak nabati berupa minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang akan terus meningkat. Yang terbaru, pemerintah akan menerapkan B40 atau campuran solar 60% dan bahan bakar nabati dari kelapa sawit 40%, yang akan diterapkan pada awal tahun 2025 mendatang. Nantinya, persentase bahan bakar nabati ini akan terus meningkat hingga hadirlah B50, B60 hingga B100 atau 100 persen bahan bakar dari CPO. Otomatis, kebijakan ini akan memaksa produksi CPO dari industri sawit meningkat. Sebelum B40 diterapkan, Indonesia telah menerapkan B35 dengan volume CPO yang dibutuhkan sebesar 13,4 juta kilo liter (KL). Dan untuk B40 akan dibutuhkan volume CPO sebesar 16 juta KL. Melihat Kesiapan Industri untuk B40 Terkait penerapan B40 tahun depan, Eddy Abdurrachman selaku Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengatakan uji coba sudah selesai dilakukan pada sektor otomotif dan non-otomotif. Baca Juga: Prospek Bisnis Industri Sawit Diprediksi Semakin Cerah, Ini Faktor Kuncinya "Untuk B40 pemerintah sudah menetapkan akan diberlakukan pada Januari tahun depan. Ujinya sudah dilakukan, baik terhadap otomotif dan non otomotif," kata Eddy dalam acara peluncuran Buku 'Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan' di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (05/09). Dari sisi pelaku industri, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Eddy Martono mengatakan industri masih sanggup memasok kebutuhan untuk B40, meskipun akan berdampak pada pengurangan kapasitas ekspor CPO. Sedangkan ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh produk refine palm oil, artinya dari sisi ekspor jika mengikuti mandatory, maka akan berada di angka 30-32 juta ton. “Ekspor kita di tahun 2022 sebesar 32 juta ton, dengan mandatory B40 kemungkinan ekspor sudah mulai berkurang. Yang menjadi masalah apabila pasokan minyak sawit Indonesia ke pasar internasional berkurang maka ini akan menaikkan harga minyak nabati dunia termasuk minyak sawit, apabila suply dunia berkurang. Dan ini juga otomatis akan mempengaruhi harga minyak dalam negeri,” ungkapnya. Adapun untuk melindungi kuota ekspor, Eddy bilang industri sawit harus segera meningkatkan produktifitas melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Yang utama dalam meningkatkan produktifitas ya melalui PSR," ungkapnya. Ia menambahkan, jika melalui PSR dapat ditingkatkan produksi CPO hingga 5 ton perhektar. Dengan besar lahan sawit di Indonesia yang seluas 16,8 juta hektare, maka Indonesia sudah dapat memproduksi 81,5 juta ton CPO. "Kalau kita kejar produksi kita di 5 ton perhektar per tahun dengan luasan 16,3 juta (hektar) tadi, kita sudah dapat produksi 81,5 juta (ton CPO)" ungkapnya. Tantangan Menghadapi B50 Setelah B40, Indonesia akan menghadapi B50. Menurut Eddy, jika keadaan dari produksi CPO di dalam negeri tidak berubah, maka volume ekspor CPO akan semakin berkurang. "B50 itu kalau dengan kondisi produksi sekarang sudah pasti ekspor akan berkurang lagi. Ini sebenarnya men-trigger pemerintah juga untuk mempercepat PSR tadi," ungkap Eddy. Dengan B50, maka volume ekspor CPO yang tadinya senilai 30-32 juta ton akan merosot ke 24 juta ton. "Karena kalau hitungan kita dengan itu B50, ekspor kita akan berkurang menjadi sekitar 24 juta ton, sekitar segitu. Tapi dengan catatan kalau produksinya sama seperti sekarang," tambah Eddy. Baca Juga: Program B40 Butuh Lahan Tambahan Agar volume ekspor tidak semakin merosot menghadapi B50, Eddy bilang peningkatan produksi bisa dilakukan dengan mewujudkan target PSR pemerintah yang seluas 2,4 juta hektar hingga 2025 dari total luasan kebun sawit rakyat 6,8 hektar. "Ya 2,4 juta yang target (PSR) itu harus dilakukan replanting atau peremajaan. Industri cukup (produksi CPO), hanya saja kalau produk ini (B50) kan yang dikorbankan market ekspornya. Tapi ini belum terlambat, artinya kalau kita kejer produktifitas sekarang, yang bibit-bibit baru (sawit) perkiraan 2,5 sampe 3 tahun kan sudah mulai berbuah," tambahnya. Adapun menurut Eddy, dibandingkan harus membuka lahan baru untuk memasok kebutuhan CPO, pemerintah bisa memaksimalkan lahan sawit yang ada. "Apakah perlu penambahan areal yang terdegradasi? Belum tentu, karena kita harus meliat bagaimana dengan kebijakan (lanjutan)," katanya. Terkait penambahan lahan ini, pandangan Gapki juga diamini oleh Dirut BPDPKS, Eddy Abdurrachman karena membuka lahan baru menurutnya hanya akan memunculkan isu deforestasi baru yang berbahaya bagi lingkungan. "Menurut saya, hanya ada satu cara, kita tetap menggunakan lahan yang ada, karena kalau ekstensifikasi maka akan munjul isu deforestisasi," ungkap Eddy. Makin Sulit Hadapi B60 Setelah B50, Gapki bilang bahwa penerapan B60 akan semakin berat dan pengorbanan terhadap volume ekspor CPO akan makin besar. Adapun, untuk memenuhi B60, produsen sawit harus menyiapkan 24 juta ton CPO atau naik 6 juta ton dibanding volume untuk B50. "Untuk B50 saja kita butuh 17,5 juta (ton CPO) bahan bakunya, kalau naik ke B60 itu menaikan sekitar 6 juta (ton CPO) lagi, berarti B60 butuh 24 juta-an kebutuhannya," ungkap Eddy. Adapun saat ini Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan saat ini pemerintah tengah mengembangkan lahan di Papua seluas 300 ribu hektare (ha) untuk dikonversi ke B60.
Dilema Industri Sawit, Pemenuhan Biodiesel Hingga Pengorbanan Kapasitas Ekspor
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Industri sawit Indonesia kini tengah berkejaran dengan waktu untuk menggenjot peningkatan produksi agar bisa memenuhi target pemerintah dalam pemenuhan mandatori biodiesel dengan bauran minyak nabati berupa minyak kelapa sawit atau Crude Palm Oil (CPO) yang akan terus meningkat. Yang terbaru, pemerintah akan menerapkan B40 atau campuran solar 60% dan bahan bakar nabati dari kelapa sawit 40%, yang akan diterapkan pada awal tahun 2025 mendatang. Nantinya, persentase bahan bakar nabati ini akan terus meningkat hingga hadirlah B50, B60 hingga B100 atau 100 persen bahan bakar dari CPO. Otomatis, kebijakan ini akan memaksa produksi CPO dari industri sawit meningkat. Sebelum B40 diterapkan, Indonesia telah menerapkan B35 dengan volume CPO yang dibutuhkan sebesar 13,4 juta kilo liter (KL). Dan untuk B40 akan dibutuhkan volume CPO sebesar 16 juta KL. Melihat Kesiapan Industri untuk B40 Terkait penerapan B40 tahun depan, Eddy Abdurrachman selaku Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) mengatakan uji coba sudah selesai dilakukan pada sektor otomotif dan non-otomotif. Baca Juga: Prospek Bisnis Industri Sawit Diprediksi Semakin Cerah, Ini Faktor Kuncinya "Untuk B40 pemerintah sudah menetapkan akan diberlakukan pada Januari tahun depan. Ujinya sudah dilakukan, baik terhadap otomotif dan non otomotif," kata Eddy dalam acara peluncuran Buku 'Sawit, Anugerah yang Perlu Diperjuangkan' di kawasan Jakarta Selatan, Kamis (05/09). Dari sisi pelaku industri, Ketua Umum Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (Gapki) Eddy Martono mengatakan industri masih sanggup memasok kebutuhan untuk B40, meskipun akan berdampak pada pengurangan kapasitas ekspor CPO. Sedangkan ekspor Indonesia saat ini didominasi oleh produk refine palm oil, artinya dari sisi ekspor jika mengikuti mandatory, maka akan berada di angka 30-32 juta ton. “Ekspor kita di tahun 2022 sebesar 32 juta ton, dengan mandatory B40 kemungkinan ekspor sudah mulai berkurang. Yang menjadi masalah apabila pasokan minyak sawit Indonesia ke pasar internasional berkurang maka ini akan menaikkan harga minyak nabati dunia termasuk minyak sawit, apabila suply dunia berkurang. Dan ini juga otomatis akan mempengaruhi harga minyak dalam negeri,” ungkapnya. Adapun untuk melindungi kuota ekspor, Eddy bilang industri sawit harus segera meningkatkan produktifitas melalui Peremajaan Sawit Rakyat (PSR) yang merupakan salah satu Program Strategis Nasional (PSN) yang dicanangkan dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). "Yang utama dalam meningkatkan produktifitas ya melalui PSR," ungkapnya. Ia menambahkan, jika melalui PSR dapat ditingkatkan produksi CPO hingga 5 ton perhektar. Dengan besar lahan sawit di Indonesia yang seluas 16,8 juta hektare, maka Indonesia sudah dapat memproduksi 81,5 juta ton CPO. "Kalau kita kejar produksi kita di 5 ton perhektar per tahun dengan luasan 16,3 juta (hektar) tadi, kita sudah dapat produksi 81,5 juta (ton CPO)" ungkapnya. Tantangan Menghadapi B50 Setelah B40, Indonesia akan menghadapi B50. Menurut Eddy, jika keadaan dari produksi CPO di dalam negeri tidak berubah, maka volume ekspor CPO akan semakin berkurang. "B50 itu kalau dengan kondisi produksi sekarang sudah pasti ekspor akan berkurang lagi. Ini sebenarnya men-trigger pemerintah juga untuk mempercepat PSR tadi," ungkap Eddy. Dengan B50, maka volume ekspor CPO yang tadinya senilai 30-32 juta ton akan merosot ke 24 juta ton. "Karena kalau hitungan kita dengan itu B50, ekspor kita akan berkurang menjadi sekitar 24 juta ton, sekitar segitu. Tapi dengan catatan kalau produksinya sama seperti sekarang," tambah Eddy. Baca Juga: Program B40 Butuh Lahan Tambahan Agar volume ekspor tidak semakin merosot menghadapi B50, Eddy bilang peningkatan produksi bisa dilakukan dengan mewujudkan target PSR pemerintah yang seluas 2,4 juta hektar hingga 2025 dari total luasan kebun sawit rakyat 6,8 hektar. "Ya 2,4 juta yang target (PSR) itu harus dilakukan replanting atau peremajaan. Industri cukup (produksi CPO), hanya saja kalau produk ini (B50) kan yang dikorbankan market ekspornya. Tapi ini belum terlambat, artinya kalau kita kejer produktifitas sekarang, yang bibit-bibit baru (sawit) perkiraan 2,5 sampe 3 tahun kan sudah mulai berbuah," tambahnya. Adapun menurut Eddy, dibandingkan harus membuka lahan baru untuk memasok kebutuhan CPO, pemerintah bisa memaksimalkan lahan sawit yang ada. "Apakah perlu penambahan areal yang terdegradasi? Belum tentu, karena kita harus meliat bagaimana dengan kebijakan (lanjutan)," katanya. Terkait penambahan lahan ini, pandangan Gapki juga diamini oleh Dirut BPDPKS, Eddy Abdurrachman karena membuka lahan baru menurutnya hanya akan memunculkan isu deforestasi baru yang berbahaya bagi lingkungan. "Menurut saya, hanya ada satu cara, kita tetap menggunakan lahan yang ada, karena kalau ekstensifikasi maka akan munjul isu deforestisasi," ungkap Eddy. Makin Sulit Hadapi B60 Setelah B50, Gapki bilang bahwa penerapan B60 akan semakin berat dan pengorbanan terhadap volume ekspor CPO akan makin besar. Adapun, untuk memenuhi B60, produsen sawit harus menyiapkan 24 juta ton CPO atau naik 6 juta ton dibanding volume untuk B50. "Untuk B50 saja kita butuh 17,5 juta (ton CPO) bahan bakunya, kalau naik ke B60 itu menaikan sekitar 6 juta (ton CPO) lagi, berarti B60 butuh 24 juta-an kebutuhannya," ungkap Eddy. Adapun saat ini Menteri Energi dan Sumberdaya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia mengatakan saat ini pemerintah tengah mengembangkan lahan di Papua seluas 300 ribu hektare (ha) untuk dikonversi ke B60.