Dilema Meikarta



Obrolan berisi kegalauan mengisi salah satu grup media sosial yang sebagian besar berisi konsumen pembeli unit apartemen Meikarta sepanjang pekan lalu. Mereka bingung karena tidak tahu mesti ke mana mengadu.

Ada konsumen menyetor Rp 700 juta untuk membeli tiga unit apartemen Meikarta. Ada yang baru meneken akad kredit pemilikan apartemen sejak awal tahun ini, untuk membeli unit Rp 200 jutaan. Mereka rutin mengangsur tagihan. Ada juga yang membayar cash lunak, tapi angsuran baru setengah jalan.

Mereka cemas proyek mandek lantaran salah satu petinggi Grup Lippo, si empunya proyek ikut terciduk jadi tersangka dalam rentetan tangkap tangan oleh penyidik KPK. Kalau proyek mandek, duit yang sudah disetor tak jelas KPK menyeret sejumlah nama pejabat di Kabupaten Bekasi dan petinggi PT Mahkota Sentosa Utama (MSU), di kasus suap perizinan proyek. Kasus ini bakal panjang. KPK menyita dokumen barang bukti, terkait proyek.


Konsumen pembeli dan pemesan apartemen tak bisa berbuat banyak. Mereka terikat kontrak dengan MSU. Menghentikan angsuran bukan pilihan. Karena konsumen bisa dianggap melanggar kontrak, sehingga bisa terkena penalti dari bank maupun pengembang.

Sementara hingga kini MSU tak menjelaskan mekanisme penanganan konsumen, meski pengacara MSU Denny Indrayana secara normatif menyatakan proyek Meikarta tetap jalan. Padahal sejumlah pejabat baik pusat maupun daerah telah menyerukan penghentian proyek.

Gugatan konsumen baru dimungkinkan jika ada pelanggaran kontrak, seperti pengembang gagal serah terima apartemen sesuai yang diperjanjikan. Kalaupun ada poin pengembalian dana atau refund, biasanya tak mengatur kondisi fraud akibat pelanggaran hukum oleh pengembang maupun korporasi. Refund hanya dimungkinkan saat bank menolak kredit pembiayaan apartemen, atau konsumen mundur batal membeli apartemen.

Maka, negara perlu hadir melindungi konsumen apartemen. Tak kurang Rp 7 triliun dana mengalir ke proyek ini. Negara perlu membuat terobosan, meminta penetapan pengadilan agar memastikan aset dan kekayaan perusahaan, pemegang saham, maupun direksi perusahaan, jika perlu hingga ke pemilik grup. Tujuannya agar aset dan kekayaan perusahaan tak berpindah tangan selama proses hukum berlangsung. Ini penting agar ada jaminan dan kepastian atas hak konsumen Meikarta.•

Syamsul Ashar

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi