Dilema Pasal Karet ITE



KONTAN.CO.ID - Ketakutan masyarakat untuk mengkritik kebijakan pemerintah masih menjadi topik perbincangan menarik. Apalagi Presiden Joko Widodo secara terbuka meminta masyarakat untuk memberikan kritik kepada pemerintah.

Presiden juga menyatakan kalau Undang Undang (UU) No 19/2016 Jo UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) menyebabkan terciptanya ketidakadilan, ia akan meminta DPR untuk bersama-sama merevisi UU ITE yang jadi permasalahan.

Berbagai studi menyebutkan ada setidaknya 9 pasal bermasalah di UU ITE dan dianggap sebagai pasal karet. Namun dari pasal-pasal tersebut ada beberapa yang menjadi jeratan hukum paling efektif bagi pelaku. Misalnya pasal Pasal 27 ayat (3) yang mengatur tentang penghinaan dan pencemaran nama baik.


Kedua, Pasal 28 ayat (2) UU No 19/2016 Jo UU No 11/2008 yang berbunyi: "Setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).

Sebagai gambaran ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 27 ayat (3) UU No 19/2016 adalah penjara paling lama 4 tahun dan denda paling banyak Rp 750 juta. Sementara, ancaman hukuman atas pelanggaran Pasal 28 ayat (2) UU No 19/2016 adalah penjara paling lama 6 tahun dan denda paling banyak senilai Rp 1 miliar. Oleh karenanya, tersangka yang dikenakan tuduhan atas pasal ini biasanya langsung masuk bui, meskipun yang bersangkutan sudah ampun-ampunan meminta maaf, biasanya proses hukum akan tetap jalan.

Lalu apakah pencabutan pasal ini menyelesaikan masalah? Apakah berarti setiap orang boleh melakukan ujaran kebencian ataupun melakukan pencemaran nama baik?

Ada baiknya kita semua tidak gegabah dengan mencabut pasal-pasal di UU ITE ini. Karena toh UU ITE sejatinya hanya memperjelas aturan yang sudah ada di pasal-pasal dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yaitu pasal 310 sampai dengan pasal 321. Meminjam bahasa Pakar Hukum Edward Omar Sharif Hiariej bahwa delik ITE dan KUHP sama, hanya medianya berbeda di dunia nyata dan dunia maya.

Lebih tepat jika aparat kepolisian tidak gegabah menerima pengaduan dari masyarakat, dan mendalami betul apakah motif pengaduan mereka. Alhasil, UU ini tak lagi menjadi momok yang menakutkan.

Penulis : Syamsul Ashar

Redaktur Pelaksana

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti