Dilema Penerapan Pajak Minimum Global 15%, Ada Fenomena Perang Pajak Mengintai



KONTAN.CO.ID-JAKARTA. Lembaga Penelitian The Prakarsa mewanti-wanti dampak penerapan pajak perusahaan minimum 15% di bawah Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang bisa lebih menguntungkan negara-negara maju.

Hal ini lantaran, perubahan kebijakan global di bidang perpajakan ini, terutama yang diinisiasi oleh OECD cenderung dirumuskan di kalangan negara maju, baru kemudian diumumkan ke negara-negara berkembang anggota OECD.

Dalam laporan terbarunya, PRAKARSA menganggap bahwa tarif pajak perusahaan minimum global yang diusung OECD sebesar 15% masih terlalu rendah. Ini akan berisiko mendorong negara-negara berkembang di ASEAN untuk semakin menurunkan tarif pajak penghasilan perusahaan (PPh Badan) seperti sebelumnya.


"Hal ini perlu disoroti dan ditingkatkan karena mayoritas tarif PPh Badan secara global adalah 25%," tulis PRAKARSA dalam laporannya.

Baca Juga: OJK Gandeng Organisasi Jepang Dalam Mempersiapkan Program Asuransi Wajib

Untuk itu, PRAKARSA  merekomendasikan agar ASEAN Forum on Taxation (AFT) memimpin inisiatif untuk menetapkan tarif pajak perusahaan minimum regional sebesar 25%, jauh lebih tinggi daripada tarif pajak perusahaan OECD yang sebesar 15%, untuk mencegah "perlombaan menuju ke bawah" dan melindungi pendapatan nasional di seluruh ASEAN.

"PPh Badan minimum global yang baru masih terlalu rendah yang menguntungkan negara maju. Hal ini berisiko pada fenomena race to the bottom," tulis laporan tersebut.

Race to the bottom dapat diartikan sebagai persaingan antara yurisdiksi untuk menawarkan insentif pajak yang sangat rendah atau kebijakan perpajakan yang sangat menguntungkan bagi perusahaan dan investor.

Per 15 November 2023, enam anggota ASEAN seperti Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, Thailand dan Vietnam telah mengumumkan penerapan aturan Global Anti-Base Erosion (GloBE) dengan standar PPh Badan di seluruh negara ASEAN berada di atas 15%.

Namun karena penerapan preferensi pajak yang rendah, pembebasan pajak, dan pengurangan untuk jangka waktu tertentu, maka perusahaan multinasional (MNE) akan menikmati tarif pajak aktual yang lebih rendah.

Misalnya, beberapa perusahaan mutinasional di Vietnam dikenakan tarif pajak aktual sebesar 6% hingga 8% selama masa preferensi, lebih rendah dari ambang batas pajak minimum sebesar 15%. Hal ini memerlukan perubahan kebijakan perpajakan dalam negeri agar sejalan dengan aturan GloBE.

PRAKARSA melaporkan, meskipun tidak ada perubahan kebijakan mengenai tarif pajak minimum global OECD, negara-negara ASEAN telah mengambil beberapa tindakan dan mengusulkan rancangan peraturan untuk menanggapi kebijakan tersebut.

"Meskipun Indonesia dan Vietnam akan menerapkan peraturan tersebut mulai tahun 2024, Malaysia, Singapura dan Thailand dakan menunda penerapannya hingga tahun 2025," katanya.

Baca Juga: Cegah Kebocoran Potensi Pajak, Pemerintah Tengah Persiapkan Penerapan Pajak Global

Selain itu, lantaran negara-negara ASEAN telah menerapkan berbagai insentif pajak, termasuk pengecualian pajak (tax holiday), pengurangan pajak dan tunjangan pajak maka insentif ini kemungkinan besar akan terkena dampak signifikan dari penerapan aturan GloBE.

Oleh karena itu, negara anggota ASEAN perlu merevisi insentif pajak dengan memastikan bahwa insentif yang diberikan benar-benar menarik investasi yang berkualitas tinggi dan berkelanjutan. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari