Dilema sertifikasi ISPO



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan menilai sertifikasi Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) yang dimiliki perusahaan eksportir sawit sejatinya bisa menjadi penjamin akan kegiatan hulu-hilir dan konservasi yang baik dan sesuai standar.

Oleh karenanya, bila komisi Uni Eropa mempermasalahkan standar penggunaan lahan secara tidak langsung alias Indirect Land Use Change (ILUC) pada sektor minyak nabati yang secara umum digunakan untuk biofuel, seharusnya dapat ditampik dengan ISPO tersebut.

Staf Ahli Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Republik Indonesia bidang Energi Hudoyo menyatakan adanya kewajiban sertifikasi ISPO pada pengusaha sawit di Indonesia memastikan keberlanjutan lahan sawit yang digarap industri terjamin dari hulu hingga hilir.


Apalagi KLHK dalam melepas kawasan hutan untuk kebun sawit terus melakukan pengawasan yang ketat pada industri, di antaranya adalah memastikan konservasi sumber air dan tidak mengganggu dam penampungan air.

"Kita ada standar high conservation value forest dan itu sudah kita delegasikan, jadi kekhawtiran kebun sawit kita high risk lebih karena tuduhan deforestasi hutan yang terkait isu perang dagang juga sebetulnya," kata Hudoyo kepada Kontan.co.id, Selasa (2/10).

Oleh karenanya, walau ISPO menjadi standar wajib Indonesia, namun juga bisa menjadi acuan keberlanjutan yang justru harus dipelajari oleh negara produsen sawit lain dan Uni Eropa.

Sayangnya Wakil Ketua Umum III Urusan Perdagangan dan Keberlanjutan Togar Sitanggang berpendapat lain. Menurutnya memang terdapat permasalahan dalam susunan skema tersebut. "Standar ISPO belum akan dipakai dalam ILUC," katanya.

Tak hanya itu, potensi untuk mendorong ISPO menjadi bagian dari kriteria tersebut menurut Togar berat, apalagi karena keberterimaannya di internasional masih kurang.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto