Dinilai Masih Relevan, Sejumlah Stakeholders Tolak Perubahan PP 109/2012



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Ketua umum Dewan Pimpinan Nasional Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (DPN APTI), Agus Parmuji berpendapat adanya dorongan perubahan Peraturan Pemerintah No.109 tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan (PP 109/2012) merupakan penjajahan kearifan lokal yang tidak memandang pelestarian budaya pertanian, budaya ekonomi pedesaan dan kelestarian keanekaragaman budaya bangsa Indonesia. 

Agus Parmuji yang hadir pada uji publik perubahan PP 109/2012 yang digelar oleh Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Kemenko PMK) tanggal 27 Juli 2022 lalu dengan tegas menolak rencana revisi PP 109/2012 yang seakan dipaksakan untuk disahkan. 

Lantas, Agus Parmuji mengirimkan surat resmi kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) perihal penolakan revisi PP 109/2012. 

"Kami pengurus DPN APTI berkirim surat resmi kepada Presiden Jokowi untuk membatalkan revisi PP 109/2012. Semoga bapak Presiden mengabulkan permohonan kami, mengingat petani tembakau masih sebagai 'soko gurune negoro'," tegas Agus dalam keterangannya, Selasa (2/8).

Baca Juga: PMI Manufaktur Tertinggi Dalam Tiga Bulan, Menperin: Dampak Positif Program P3DN

Penolakan perubahan PP 109/2012 juga dari kalangan pekerja pabrik rokok. Ketua Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan Minuman (FSP RTMM) Sudarto menilai, PP 109/2012 yang berlaku saat ini sejatinya telah memberatkan bagi industri sehingga para pekerja juga ikut terimbas. Pasalnya, ketentuan-ketentuan yang ada telah melampaui kerangka pengendalian tembakau global alias Framework Convention of Tobacco Control (FCTC). 

Menurutnya, dengan sifat yang eksesif dan menjadi payung terhadap pengendalian tembakau, PP 109/2012 berpotensi memicu sejumlah regulasi di tingkat daerah yang makin eksesif lagi sehingga mengancam eksistensi IHT. 

“FSP-RTMM ini bukan hanya melindungi para pekerja, melainkan dari aspek hubungan industrial mendorong keberlangsungan industri karena ini akan sangat terkait penyediaan lapangan pekerjaan dan pertumbuhan kesejahteraan pekerjanya,” tegasnya. 

Sementara, Ketua Gabungan Produsen Rokok Putih Indonesia (Gaprindo), Benny Wahyudi berpandangan upaya untuk merevisi PP 109/2012 bukanlah sesuatu yang genting, apalagi mengingat selama ini IHT telah patuh dan menyesuaikan diri dengan aturan-aturan yang termaktub dalam PP 109/2012. 

Benny bilang, ketika industri berusaha bangkit dan memulihkan diri karena pandemi, justru gerakan, kampanye, dan regulasi terhadap IHT semakin eksesif. IHT selama ini disudutkan, dimusuhi, seolah tidak ada yang positif dari industri ini. 

Senada dengan Benny, Ketua Umum Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menolak perubahan PP 109/2012 yang saat ini sedang digulirkan oleh Kementerian tertentu. GAPPRI menyoroti isi draf perubahan PP 109/2012 cenderung pelarangan. Hal itu justru semakin restriktif terhadap kelangsungan iklim usaha IHT di tanah air. 

“Kalau mengacu ketentuan perundang-undangan, seharusnya dititiktekankan pada pengendalian, tetapi draf yang kami terima justru banyak yang bentuknya pelarangan,” terang Henry Najoan. 

Baca Juga: Rayakan Hari Jadi ke-50, Indolok Bakti Utama Ingin Memproduksi 100% di Indonesia

Direktur Industri Minuman, Hasil Tembakau, dan Bahan Penyegar Kementerian Perindustrian, Edy Sutopo berpendapat, PP 109/2012 masih relevan dengan kondisi industri saat ini. Edy menjelaskan aturan tersebut telah mengatur berbagai aspek, termasuk industri hasil tembakau yang berkaitan dengan operasinya. 

Edy mengungkapkan, Industri rokok sebenarnya masih suffer. Kalau kita lihat pada masa pandemi, pada 2020 terjadi kontraksi -5,78%. Pada 2021 meskipun sudah mulai membaik, tapi tetap masih pada posisi kontraksi, yaitu -1,36%. 

Pakar hukum internasional, Hikmahanto Juwana juga berpendapat bahwa rencana perubahan PP 109/2012 tidak mendesak dilakukan. Pasalnya, kebijakan ini masih relevan digunakan dalam rangka pengendalian konsumsi tembakau di Indonesia. 

Menurut Hikmahanto, polemik berkepanjangan revisi PP 109/2012 yang menguras energi pemerintah semestinya tidak perlu terjadi. Untuk itu sebagai bangsa yang berdaulat penting untuk kita mampu mengambil sikap dan tidak tunduk kepada desakan lembaga asing yang memiliki kepentingan atas revisi PP 109/2012 ini. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi