Dinilai Tak Banyak Membantu, Pemerintah Diminta Tak Buru-Buru Meratifikasi RCEP



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal minta pemerintah tak terburu-buru meratifikasi Kemitraan Ekonomi Komprehensif Regional (RCEP).

Perjanjian dagang terbesar di dunia tersebut dinilai memiliki dampak signifikan bagi Indonesia. Oleh karena itu, penghitungan secara matang perlu dilakukan untuk mencegah kerugian ke depan. "Tidak perlu terlalu buru-buru karena kita harus benar-benar cermat tidak asal ikut-ikutan," ujar Faisal saat dihubungi Kontan.co.id, Minggu (2/1).

Sebagai informasi, 12 negara anggota RCEP telah mulai mengimplementasikan perjanjian tersebut. Selain Indonesia, terdapat Malaysia dan Filipina yang masih dalam proses ratifikasi.


Faisal bilang keterlambatan ratifikasi tak membuat Indonesia kehilangan keuntungan dalam RCEP. Pasalnya perjanjian dagang tersebut tidak akan berdampak secara besar dalam waktu cepat.

Baca Juga: Pemerintah Diminta Perhatikan Mekanisme Subsidi Minyak Goreng Curah

Selain itu, RCEP bukanlah perjanjian dagang baru ASEAN dengan negara mitra. Sebelumnya telah ada perjanjian bilateral antara ASEAN dengan masing-masing megara mitra yakni China, Korea Selatan, Jepang, Australia, dan Selandia Baru. "Sudah difasilitasi dengan FTA bilateral dan juga regional," ungkap Faisal.

Faisal juga mengungkapkan perjanjian dagang yang ada tak berkontribusi besar dalam perdagangan Indonesia. Dalam masa krisis seperti saat ini, pasar dalam negeri menjadi penyelamat perdagangan Indonesia.

Meski pun saat ini Indonesia mencatat rekor ekspor terbesar dan menciptakan surplus. Namun, hal itu didorong oleh tingginya harga komoditas dan pengembangan industri. "Tidak ada hubungan langsung dengan perjanjian dagang yang kita tandatangani dengan China dan negara lain," terang Faisal.

Faisal juga mengkhawatirkan dominasi China dalam RCEP. Saat ini dengan China pun Indonesia masih mengalami defisit dalam konteks ASEAN-China FTA.

Baca Juga: Ekonom Bank Mandiri Nilai Bauran Kebijakan BI Efektif Mendorong Pertumbuhan Ekonomi

Meski begitu, Menteri Perdagangan Muhamad Lutfi menyebut ekspor Indonesia mengalami peningkatan. Pada periode Januari - Oktober 2021, China merupakan negara pertama tujuan ekspor Indonesia.

Total ekspor Indonesia ke China mencapai US$ 42,6 miliar dan impor US$ 44,1 miliar. Angka tersebut diungkapkan Lutfi sebagai yang tertinggi dalam 15 tahun terakhir.

Sementara itu total impor Indonesia pada periode tersebut sebesar US$155 miliar. Dari angka tersebut sebanyak 90% impor merupakan bahan baku, bahan penolong, dan barang modal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tendi Mahadi