JAKARTA. Berbekal semangat untuk menggairahkan serta menyehatkan industri waralaba di dalam negeri, pemerintah akhirnya resmi menerbitkan Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012 tentang Penyelenggaraan Waralaba. Beleid itu diteken Menteri Perdagangan Gita Wirjawan, akhir Agustus lalu. Banyak terobosan pemerintah dengan menerbitkan beleid itu. Di antaranya, membatasi penjualan atau penggunaan bahan baku impor. Untuk menciptakan peluang bagi investor lokal, pemerintah juga menerbitkan aturan spesifik soal waralaba toko modern melalui Permendag Nomor 68/M-DAG/PER/10/2012. Beleid ini merupakan kelanjutan Permendag No. 53/2012 yang diteken Gita Wirjawan pada 29 Oktober 2012. Dalam beleid itu, pemerintah membatasi kepemilikan gerai milik sendiri atau company owned outlet sebanyak 150 unit.
"Kalau pengusaha sudah punya 150 gerai dan mau ekspansi, dia harus mewaralabakan," kata Gunaryo, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan (Kemdag). Pendirian gerai tambahan ini wajib diwaralabakan minimal 40% dari jumlah gerai baru. Sementara, bila gerai milik sendiri terlanjur lebih dari 150, pengusaha harus melepas paling sedikit 20% dari jumlah outlet setiap tahun. Kelak, akan muncul juga beleid serupa yang mengatur waralaba rumah makan dan minuman. Semangatnya tetap sama, yakni membatasi gerai milik sendiri dan memberi peluang bagi investor lokal yang ingin mencicipi gurihnya bisnis waralaba tersebut. Terbitnya beleid ini menuai respon beragam dari kalangan pengusaha waralaba. Ketua Dewan Pembina Perhimpunan Waralaba dan Lisensi Indonesia (Wali), Amir Karamoy menilai, beleid anyar tersebut memberikan dampak positif sekaligus negatif. Sisi positifnya adalah dalam peraturan baru, pewaralaba wajib melakukan audit pelaporan keuangan dan transparansi. "Dengan begitu, kualitas usaha waralaba akan membaik," tutur Amir. Sebab, pewaralaba (franchisor) wajib membuat usaha/ jasa yang semakin bonafit, bukan hanya menjual kucing dalam karung. Dari sisi dampak negatif, peraturan yang ketat seperti ini akan membuat usaha menengah ke bawah berpikir ulang. Secara kuantitas, Amir memperkirakan, jumlah pemain waralaba akan menurun di tahun 2013. Sebagian besar akan beralih ke pola kerjasama lisensi atau kemitraan atau bussines opportunity. Alhasil, jumlah pemain baru di waralaba akan tertekan. Fenomena migrasi bisnis ini terjadi lantaran aturan soal kemitraan belum seketat waralaba. Kondisi ini bakal melahirkan segmentasi antara waralaba untuk bisnis menengah atas, dan kemitraan untuk menengah bawah. Terlepas dari itu, Amir tetap menyambut positif beleid tersebut lantaran bertujuan meningkatkan kualitas bisnis waralaba. Hanya saja, pemerintah perlu melakukan harmonisasi regulasi menyusul terbitnya Permendag No. 53/M-DAG/PER/8/2012. Sebab, menurut Amir, Permendag itu bertentangan dengan PP No 42 Tahun 2007 tentang Waralaba. Pasalnya, subtansi PP tersebut dimaksudkan untuk mendorong usaha menengah dan kecil sebagai pemberi waralaba. Sementara, Permendag No. 53/2012 justru menekan para pengusaha menengah dan kecil untuk menjadi pewaralaba. "Sebaiknya induk Peraturan Pemerintah diganti, sementara Permendag baru itu tetap dipertahankan," tutur Amir. Anang Sukandar, Ketua Asosiasi Franchise Indonesia (AFI) berpendapat, aturan pembatasan gerai waralaba toko modern akan berdampak terhadap gerai ritel, seperti Alfamart dan Indomaret. Sementara, toko modern dan apotek dengan jumlah gerai sekitar 100 unit - 150 unit biasanya sudah diwaralabakan. "Seperti Apotek K-24 yang sebagian besar gerainya milik pihak ketiga dengan sistem waralaba," cetusnya. Jadi, tidak semua pengusaha waralaba terkena dampak regulasi tersebut. Aturan ini sendiri memang bagus mencegah terjadinya monopoli dan memberikan kesempatan bisnis kepada pihak ketiga. "Semangatnya bagus. Hanya kalau komunikasi dengan pengusaha lebih bagus, buat apa ada aturan," ujarnya. Apalagi, kata Anang, banyak pemegang master franchise waralaba asing di Indonesia adalah pengusaha lokal, seperti PT Sinar Sosro sebagai pemegang lisensi McDonald's di Indonesia. Henky Eko Sriyantono. pemilik waralaba Bakso Malang Cak Eko menilai, aturan waralaba cukup memberatkan bagi para pengusaha, terutama mereka yang baru terjun ke bisnis ini. Namun, di sisi lain, peraturan ini bagus untuk perkembangan bisnis waralaba. Sebab, peraturan waralaba ini memberi rambu-rambu yang ketat bagi para pewaralaba sebelum menawarkan usahanya ke pihak lain. Namun, Eko meminta, peraturan ini tidak langsung diterapkan. Pasalnya, para pewaralaba perlu waktu untuk membenahi bisnis mereka. Contohnya, waralaba asing yang saat ini masih tergantung dengan pasokan bahan baku dari luar negeri. Sementara, dalam aturan waralaba terbaru, minimal 80% bahan baku harus dari lokal. Begitu juga dengan pewaralaba yang memiliki jumlah gerai sendiri melebihi kapasitas. “Jadi, kami meminta mendapat kelonggaran,” ujar Eko. Apik S. Rijal, Franchise Manager Banana Kriuk asal Cirebon, Jawa Barat juga berpendapat sama. Menurut Apik, aturan itu semakin memperketat sistem penawaran waralaba. Tentu, pebisnis yang ingin mendaftarkan usahanya menjadi waralaba juga akan kesulitan memenuhi pelbagai persyaratan.
Namun, mereka yang sudah lama menawarkan waralaba tidak akan terlalu sulit menyesuaikan diri. "Kami hanya perlu berbenah saja dan menyesuaikan diri dengan aturan baru," ujar Apik. Kendati menghambat perkembangan bisnis waralaba, Apik tetap menyambut baik aturan ini. Sebab, aturan ini mampu menyaring kualitas para pengelola usaha yang terjun ke bisnis waralaba. Tak cuma bagi pewaralaba lokal, beberapa waralaba asing juga belum tentu memenuhi pelbagai syarat itu. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Havid Vebri