KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Prospek logam industri dinilai semakin membaik di semester II ini. Kekhawatiran pasokan hingga pemangkasan
suku bunga The Fed menjadi pendorongnya. Pada awal semester II, harga logam industri tercatat alami penguatan. Berdasarkan data Bloomberg per Senin (1/7), dalam sepekan terakhir
aluminium tercatat naik 0,47% ke US$2.515 per ton, timah naik 0,47% ke US$32.900 per ton, dan nikel 0,18% ke US$17.357 per ton. Hanya tembaga yang mencatatkan koreksi 0,32% ke US$9.630 per ton. Pengamat komoditas dan Founder Traderindo.com, Wahyu Tribowo Laksono mengatakan bahwa pergerakan harga logam industri masih cukup baik. Prospek untuk melanjutkan penguatan juga masih terbuka.
"Harga logam menguat mencerminkan optimisme atas pertumbuhan global yang baru, yang dipimpin oleh AS dan didukung oleh harapan membaiknya ekonomi Cina," ujarnya kepada Kontan.co.id, Selasa (2/7).
Baca Juga: Harga Logam Industri Kompak Naik, Pengamat Sebut Ini Hanya Bersifat Teknis Menurutnya kenaikan aluminium
yang sempat menyentuh level US$ 2.770 per ton atau tertinggi dalam dua tahun terakhir, mencerminkan momentum kuat untuk logam dasar di tengah ancaman penurunan pasokan. Potensi penurunan
terjadi karena raksasa pertambangan, Rio Tinto, mengumumkan force majeure pada kargo alumina dari kilangnya di Australia akibat kelangkaan gas. Sehingga meningkatkan kekhawatiran mengenai pasokan bahan utama dari produsen terbesar kedua di dunia tersebut. Bukan hanya itu, kenaikan aluminium juga didukung karena adanya
kekhawatiran kurangnya produksi setelah kondisi meteorologi yang tidak menentu di wilayah Yunnan, China serta anjloknya stok aluminium LME di Port Klang, Malaysia "
Aluminium juga naik melampaui tembaga sebagaimana 'buying interest' investor beralih dari tembaga ke aluminium," sebutnya. Meski begitu, prospek tembaga dinilai masih sangat apik. Sebab, kekhawatiran yang lebih luas tentang kemampuan industri pertambangan untuk bersaing dengan lonjakan permintaan saat dunia beralih ke energi hijau.
Kemudian ada pula l
aporan dari Bank Montreal bahwa penutupan tambang raksasa di Panama dan penurunan produksi tembaga Anglo-American dalam beberapa minggu terakhir turut menghilangkan 750.000 ton atau 3% pasokan global tahun depan. "Vale dan Rio Tinto juga baru-baru ini memberikan prakiraan produksi yang tidak sesuai dengan harapan beberapa analis," sebutnya.
Diperkirakan, tembaga berpotensi
rebound dalam dua tahun ke depan. Sebab, gangguan pasokan pertambangan bertepatan dengan permintaan logam yang lebih tinggi. "Meningkatnya permintaan yang didorong oleh transisi energi hijau dan penurunan kekuatan dolar AS di paruh kedua tahun 2024 akan menjadi bahan bakar pendukung harga tembaga," paparnya.
Sementara itu, untuk timah didorong penjualan semikonduktor dan teknologi yang berkembang pesat akan mendorong harganya dalam beberapa bulan mendatang. Hal itu dipicu ketatnya ekspor Indonesia dan pemberhentian tambang di Myanmar menekan prospek pasokan.
Perkiraan Macquarie, pasar timah global akan mengalami defisit sebesar 5.000 ton pada tahun 2024 dari surplus sebesar 6.000 ton pada tahun lalu. Sementara harga LME diperkirakan akan mencapai rata-rata US$28.500 pada tahun 2024.
Untuk nikel, pergerakannya pada tahun ini dinilai buruk. Sebab, ada lonjakan pasokan keluar dari Indonesia dan meningkatnya konversi produk nikel kelas rendah menjadi logam berkualitas tinggi yang dapat dikirim ke gudang LME.
Di sisi lain, permintaan nikel dari sektor stainless steel relatif lemah. Sementara itu, tidak ada pemotongan produksi lantaran smelter mempertahankan output yang tinggi.
Dari berbagai hal tersebut, Wahyu memperkirakan harga
aluminium di akhir tahun di US$2.600 per ton. Lalu tembaga US$10.000 per ton, timah US$34.000 per ton, dan nikel US$17.000 per ton. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Putri Werdiningsih