Diplomasi dan ancaman krisis emerging market



Ekonomi emerging market kali ini benar-benar diuji terutama negara-negara yang masuk kategori sebagai fragile five atau negara yang dianggap paling rentan atas kebijakan tappering off atau kenaikan suku bunga oleh bank sentral Amerika Serikat (The Fed). Yakni India, Afrika Selatan, Brasil, Turki dan Indonesia.

Setelah mampu melewati badai tappering off pada tahun 2013, gejolak ekonomi fragile five kembali diterpa badai bahkan meluas menyeret Argentina, Rusia, Polandia dan Meksiko. Penyebabnya juga semakin kompleks. Tidak hanya perkara tappering off, tapi juga ditopang normalisasi ekonomi dan eskalasi perang dagang yang membuat ekspor emerging market melemah. Akibatnya emerging market mengalami defisit transaksi berjalan cukup besar terhadap produk domestik bruto.

Argentina dan Turki berada dalam tepian krisis ekonomi, lalu yang juga mengkhawatirkan adalah Afrika Selatan. Rupiah juga tak luput dari ancaman meski tak separah ketiga negara. Peso Argentina misalnya melemah atas dollar mencapai -52,2% dan lira Turki menyentuh -43,2% (year to date), sedangkan rupiah, Indonesia -9,2%. Tidak begitu buruk, tapi terparah di Asia Tenggara.


Jalan keluar jangka pendek paling realistis adalah dengan menaikkan suku bunga mengikuti kenaikan The Fed sembari memangkas defisit transaksi berjalan. Kebijakan paling realistis adalah dengan menekan impor melalui proteksi agar tidak terjadi capital outflow. Keduanya dilakukan oleh pemerintah dan Bank Indonesia dengan cukup cepat seperti kombinasi kebijakan kenaikan suku bunga acuan 7 days repo rate (7DRR) sebesar 50 basis poin (bps) ke level 4,75% dan kenaikan PPh 22 kepada 1.147 pos tarif barang impor untuk menekan defisit transaksi berjalan.

Permasalahan yang urgen dan berada pada grey area adalah masalah efek merembet (contagion) yang terjadi di Argentina, Turki dan menyusul Afrika Selatan. Aspek psikologis investor lebih dominan daripada kalkulasi ekonomi. Common creditor akan berlaku sama, yaitu ketika emerging market dengan karakteristik mirip mulai mengkhawatirkan maka menarik dana dari emerging market adalah pilihan yang rasional.

Argumentasi akademik tentang bahayanya efek rembetan ditulis dengan cukup meyakinkan oleh Carmen M. Reinhart, dkk dalam tulisan The Unholy Trinity Of Financial Contagion.

Reinhart mencatat setidaknya pada medio tahun 1985 sampai tahun 2003 emerging market mengalami turbulensi. Ditandai dengan capital inflow yang deras masuk sejak tahun 1985 di pasar emerging market lalu goyah ketika common creditor beramai-ramai menarik dananya sejak Meksiko mengalami krisis tahun 1995, dan terus berlanjut ke Asia yang mengalami krisis pada tahun 1997, Rusia pada tahun 1998, dan Argentina yang mengalami default pada tahun 2002.

Krisis 1998 menjadi pelajaran pahit sekaligus berharga bagi Indonesia sehingga selalu waspada akan efek contagion, yakni ancaman krisis emerging market yang terjadi di Argentina, Turki sudah di depan mata. Segala daya dan upaya harus ditempuh agar dapat meminimalisir risiko sekecil apapun.

Kebijakan yang tidak sebatas menyelesaikan melalui kebijakan ekonomi seharusnya ditempuh oleh emerging market terutama Indonesia untuk menghadapi turbulensi ekonomi. Diplomasi ekonomi salah satunya. Setidaknya penyelesaian melalui jalur diplomasi dapat ditempuh baik bilateral, multilateral maupun menggunakan international forum.

Mitigasi melalui jalur bilateral seperti yang diperagakan Turki dan Qatar dapat menjadi jalan keluar. Skema bilateral Turki dan Qatar yang menghasilkan bantuan US$ 15 miliar dari Qatar dapat meredakan gejolak ekonomi Turki. Tidak hanya bilateral, jalur multilateral seperti memanfaatkan pendanaan Dana Moneter Internasional (IMF), setidaknya untuk mencegah krisis tidak semakin parah. Selain itu memperkuat peran negara-negara maju seperti Amerika Serikat, Jerman, Prancis, Timur tengah, Jepang dan China untuk bergotong royong meredakan ancaman krisis emerging market.

Jangan diulang ketiga kali

Paling realistis adalah menurunkan eskalasi perang dagang yang semakin membuat kompleks turbulensi ekonomi emerging market. Karena bagaimanapun juga interdependensi ekonomi yang sudah sangat dalam dan komplek ketika terkena krisis akan berdampak secara global

Jalur international forum seperti G-20 juga dapat diupayakan untuk membentuk arsitektur internasional pengendalian krisis global seperti pada pertemuan G-20 musim semi di London, Inggris . Melalui inisiatif Perdana Menteri Gordon Brown tercapai kesepakatan bantuan keuangan senilai US$ 1,1 triliun untuk menyelesaikan masalah ekonomi global pasca krisis tahun 2008. Nah, Indonesia bisa memulai inisiatif tersebut.

Mitigasi jangka menengah melalui terobosan diplomasi dagang dengan mengupayakan penyelesaian perjanjian kerjasama ekonomi yang sudah lama mandek. Menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan hanya dengan kebijakan yang proteksionisme akan kontraproduktif dalam jangka menengah karena negara yang terkena dampak proteksi akan berlaku sama, tit for tat.

Mendorong ekspor merupakan jalan keluar akan tetapi permasalahannya terletak pada melemahnya kinerja pasar tradisional seperti China. Tidak ada jalan keluar selain memperdalam pasar tradisional di luar China melalui perluasan pasar melalui kerjasama blok dagang strategis dan memperluas pasar ke non tradisional market terutama di negara di Asia Selatan dan Afrika.

Percepatan negosiasi dagang dengan Australia, Uni Eropa, dan kerja Sama Ekonomi Komprehensif Regional atau Regional Comprehensive Economic Partnership (RCEP) tidak bisa ditawar lagi karena tidak mungkin memacu ekspor tanpa perluasan pasar. Sudah terlalu bertele-tele negosiasi blok dagang yang dilakukan Indonesia.

Apabila proses perundingan memang deadlock dibeberapa item, Indonesia bisa mengajukan skema early outcomes seperti yang dilakukan dalam Indonesia Australia Comprehensive Economic Partnership (IA-CEPA) yaitu memberlakukan sebagian kesepakatan bersama tanpa harus menunggu seluruh kesepakatan selesai.

Tertekannya rupiah pada tahun 2013 ketika The Fed pertama kali mengakhiri suku bunga rendah yang menyebabkan ekonomi global mengalami turbulensi. Implikasinya, Indonesia masuk dalam lima negara yang rentan krisis fragile five karena besarnya defisit neraca berjalan

Situasi demikian seharusnya menjadi pelajaran ketika The Fed mulai menaikkan suku bunga, Indonesia harus menyelesaikan masalah defisit transaksi berjalan agar tak mengulangi pelemahan rupiah pada tahun 2013. Celakanya, sekarang kita gagal mengambil pelajaran dari tahun 2013 silam. Ke depana kita tidak boleh lagi mengulangi kesalahan yang ketiga kali. Hanya keledai yang berlaku demikian.•

Rafli Zulfikar Peneliti Center for International Studies and Trade

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Tri Adi