Direct Vision menggugat putusan arbitrase Singapura



JAKARTA. Ada perkembangan baru dari sengketa Astro All Asia Networks Plc versus PT First Media Tbk, PT Ayunda Prima Mitra, dan PT Direct Vision. Ayunda dan Direct Vision mengajukan gugatan pembatalan putusan Singapore International Arbitration Centre (SIAC) ke Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat. Putusan SIAC itu menghukum ketiga perusahaan itu untuk membayar ganti rugi sebesar US$ 230 juta (Rp 2,14 triliun) kepada Astro.

Dalam berkas perkara yang diterima KONTAN, kedua perusahaan itu menggugat pembatalan karena gugatan Astro didaftarkan ke SIAC pada 6 Oktober 2008. Padahal, Ayunda Prima sudah terlebih dulu mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum kepada Astro pada 2 September 2008 di PN Jakarta Selatan.

Dalam perkara itu, Majelis Hakim PN Jakarta Selatan juga telah mengeluarkan putusan sela. Isinya, PN Jakarta Selatan berwenang memeriksa dan memutus perkara tersebut di Indonesia.


Ayunda dan Direct Vision menilai, putusan arbitrase SIAC itu merupakan satu kesatuan yang tak terpisahkan dari proses di PN. Karena itu, putusan panel arbitrase SIAC telah melanggar kedaulatan Indonesia karena mencampuri proses hukum yang sedang berjalan.

Hal itu tercermin dalam amar putusan SIAC. Sebab, SIAC menyatakan menolak keberatan First Media, Ayunda, dan Direct Vision terhadap yurisdiksi ini dan menjatuhkan putusan pelarangan pengajuan gugatan di Indonesia.

Tak bisa dieksekusi

Direct Vision dan Ayundya menilai isi putusan itu bertujuan mengintervensi dan merusak proses pemeriksaan perkara di pengadilan Indonesia. Karena itu, Ayunda dan Direct Vision meminta PN Jakarta Selatan membatalkan putusan SIAC.

Selain menuntut pembatalan, Ayunda dan Direct Vision juga mengajukan gugatan terpisah. Isinya adalah tuntutan agar putusan SIAC tak bisa dieksekusi (non eksekuator). Ini sesuai dengan Undang-undang (UU) No 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.

Maklum, UU tersebut memberikan kewenangan kepada ketua PN Jakarta Pusat untuk menolak pelaksanaan putusan arbitrase internasional jika bertentangan dengan aturan di Indonesia.

Kuasa Hukum Ayunda dan Direct Vision, Asido Panjaitan membenarkan bahwa kliennya sudah mengajukan dua gugatan kepada Astro. Namun, dia menolak mengomentari gugatan tersebut karena kasusnya masih berjalan di pengadilan.

Kuasa Hukum Astro, Hafzan Taher mengakui sidang perdana kasus ini sudah dimulai pekan lalu. Ia menegaskan akan memberikan jawaban pada sidang berikutnya. Rencananya, sidang lanjutan akan berlangsung pada Kamis (10/3) pekan depan.

Sebelum ini, Oktober 2008, Astro menggugat ketiga perusahaan tersebut di SIAC. Perusahaan televisi berbayar asal Malaysia itu bersengketa soal rencana joint venture di Direct Vision, operator siaran Astro di Indonesia. Astro menuding, Ayunda Prima, anak usaha First Media yang menjadi pemegang saham Direct Vision, gagal menyelesaikan rencana kerjasama kedua perusahaan tersebut.

Pada 3 Oktober 2009, SIAC memutuskan penghentian kerjasama antara Direct Vision dengan Astro. Majelis arbitrase juga memerintahkan Ayunda Prima menghentikan gugatan terhadap Astro, anak usaha Astro, serta eksekutifnya di PN Jakarta Selatan.

Puncaknya pada 16 Februari 2010. Hakim arbitrase di Singapura mengabulkan gugatan Astro. SIAC juga menghukum First Media, Ayunda Prima, dan Direct Vision membayar ganti rugi sebesar US$ 230 juta kepada Astro.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Edy Can