Direksi PLN dukung tenaga ahli terdakwa kasus LTE



MEDAN. Jajaran Direksi PT PLN (Persero) memberikan dukungan penuh kepada sejumlah tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka perkara pekerjaan peremajaan Life Time Extension (LTE) Gas Turbine GT 2.1 & GT 2.2 PLTGU Blok II Belawan, Medan (LTE GT 2.1 & GT 2.2).

Dukungan dan komitmen tersebut ditujukan dengan kehadiran jajaran direksi sebagai saksi dalam lanjutan persidangan perkara tersebut di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) Medan, Senin (7/7).

“Kami datang mengikuti persidangan untuk memberikan dukungan moral penuh kepada para tenaga ahli kami yang disidang saat ini. Kami yakin mereka telah melakukan tugasnya dengan sangat baik,” tutur Direktur Utama PLN Nur Pamudji, usai persidangan, Senin (7/7) melalui rilis ke Tribunnews.


Dalam perkara LTE ini, para tenaga ahli PLN yang dijadikan tersangka adalah eks General Manager Chris Leo Manggala, ketua panitia lelang Surya Dharma Sinaga, Rodi Cahyawan, dan Muhammad Ali.

Selain itu, dua dari pihak swasta, yaitu Direktur Utama PT Nusantara Turbin dan Propulsi Supra Dekanto dan Direktur Utama PT Mapna Indonesia Mohammad Bahalwan.

Nur Pamudji yakin proses tender untuk proyek LTE PLTGU Belawan telah sesuai dengan prosedur dan tata kelola usaha yang baik. Keputusan PLN melakukan pemilihan langsung untuk mengerjakan proyek LTE secara teknik dan prosedur sudah tepat, sesuai dengan pelaksanaan Good Corporate Governance (GCG) dengan standar terbaik.

“Bila tidak dilakukan pemilihan langsung, krisis listrik di Medan dan Sumut akan lebih buruk lagi. Sebab jam operasional kedua mesin itu sudah di atas 100 ribu jam. Potensi gangguannya sangat besar bila tidak segera diremajakan sehingga berdampak pada ketersediaan listrik di Medan dan Sumatera Utara,” papar Nur Pamudji.

PLN tetap menghormati dan menjunjung tinggi proses peradilan yang fair dan adil dalam perkara ini.

Hal ini sejalan dengan komitmen PLN untuk menjalankan transformasi bisnis yang transparan, akuntable serta menjunjung tinggi Good Corporate Governance (GCG) yang kini tengah dibangun di internal PLN.

PLN berkeyakinan telah menjalankan semua prosedur aturan dalam perkara ini, termasuk melakukan pemilihan langsung dengan Mapna Co sebagai pemenang.

Langkah ini dilakukan setelah sebelumnya penunjukan langsung kepada PT Siemens, sebagai pembangun pembangkit awal, juga mengalami kegagalan karena tingginya anggaran yang diminta.

Siemens sendiri menetapkan budget sebesar Rp 830 Miliar sedangkan pagu anggaran PLN sendiri hanya sebesar 645 Miliar.

Selain itu, pemilihan Mapna disebabkan Siemens tidak memenuhi dan tidak menyertakan persyaratan Rejection Condition, yaitu tidak menyampaikan total waktu penyelesaian pekerjaan dan tidak menyampaikan garansi Daya Mampu/Mega Watt yang dihasilkan).

Sementara Mapna memberikan garansi dan memiliki spesifikasi peralatan dan produk yang sama dengan Siemens.

Untuk diketahui, peserta pemilihan langsung dalam proyek ini adalah Siemens, Mapna, dan Ansaldo Energia. Nama terakhir belakangan menyatakan mundur.

Ketua Tim Kuasa Hukum PLN, Todung Mulya Lubis kembali menekankan tidak adanya kerugian negara dalam proyek ini. Todung mengatakan, kerugian negara yang dituduhkan oleh jaksa mencapai Rp 2,3 triliun tersebut, kemungkinan disimpulkan jaksa dari pembayaran yang telah dilakukan kepada Mapna Co sebesar Rp 300 miliar lebih, ditambah potensi pendapatan sebesar Rp2 triliun dari pengoperasian pembangkit tersebut.

Menurut Todung, dalam pekerjaan LTE, PLN justru berhasil melakukan penghematan. Alasannya, realisasi nilai kontrak justru jauh lebih kecil dari HPS kontrak awal. Pada HPS kontrak awal dengan pemenang tender Mapna Co, tertulis sebesar Rp 645 miliar , sementara harga yang tertuang dalam kontrak hanya Rp 431 miliar .

“Dengan nilai kontrak sebesar Rp 431 miliar, justru PLN berhasil melakukan saving sebesar Rp 214 miliar (RAB Rp 645 miliar dibandingkan nilai kontrak Rp 431 miliar), sehingga tuduhan kerugian negara tidak terbukti.” kata Todung.

Ihwal dakwaan jaksa bahwa daya mampu mesin hanya sebesar 123 MW tidak sesuai dengan daya mampu minimal yaitu 132MW, Todung menegaskan bahwa hal tersebut tidak tepat.

“Dakwaan tersebut tidak benar karena beban 123 MW yang diperoleh oleh penyidik Kejaksaan bukan berasal dari hasil pengujian, tetapi kejaksaan hanya menyaksikan mesin yang pada saat itu hanya memikul beban 123 MW (siang hari). Padahal berdasarkan pengujian yang sebenarnya oleh lembaga sertifikasi, daya mampu GT 2.1 mampu mencapai 140,7 MW sehingga melebihi daya mampu minimal kontrak,” kata Todung. (Yoni Iskandar)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Hendra Gunawan