Direktur berpulang, sepekan sebelum tenggat datang



JAKARTA. Kabar itu sudah menyeruak sejak Rabu pagi (23/1) di kalangan pelaku pasar dan jurnalis ekonomi. Kali ini, bukan isu biasa menyangkut rencana akuisisi perusahaan atau gosip para eksekutif. Berita yang menjadi kasak-kusuk kali ini adalah berita duka.

Sudiro Andi Wiguno, Direktur Utama PT Dayaindo Resources Tbk (KARK), ditemukan tak bernyawa dengan selendang membelit lehernya di rumahnya di kawasan Ciputat, Tangerang Selatan, Rabu (23/1).

Dugaan sementara Kepolisian Sektor Ciputat, Sudiro tewas dengan cara gantung diri. Kabar ini sontak mengejutkan banyak kalangan. Maklum, Sudiro yang mengawali karier di PT Natpac Futures itu juga tercatat sebagai pengurus Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (Hipmi).


Kabar miris ini juga menyentak pegiat pasar saham mengingat santernya permasalahan yang tengah membelit Dayaindo, perusahaan yang dipimpin Sudiro sejak tahun 2007 itu.

Berbagai spekulasi merebak. Sebagian menilai, sulit memahami pilihan bunuh diri menilik profil Sudiro yang dikenal tangguh dan rajin beribadah. “Saya percaya dia tidak ambil jalan pintas seperti itu,” ujar Raja Sapta Oktohari, Ketua Umum Hipmi, kolega Sudiro.

Tapi, sebagian kalangan lain menilai, jika benar, aksi bunuh diri Sudiro terkait erat dengan makin peliknya persoalan yang tengah dihadapi Dayaindo.

Sejarah Dayaindo cukup panjang, dan boleh dikata “penuh masalah”. Berdiri sejak 1994 sebagai perusahaan pengembang perumahan skala kecil bernama PT Karka Yasa Profilia, Karka mulai melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI) 2001 dengan kode saham KARK.

Pada 2007, Karka salin nama menjadi PT Dayaindo Resources International Tbk dan berganti bisnis batubara. Begitu ganti nama, Dayaindo langsung menggelar rights issue senilai Rp 300 miliar.

Di lantai bursa, KARK ngetop sebagai saham gorengan. Betapa tidak, dari semula cuma saham tidur gocapan, harga saham KARK terbang mendekati kisaran Rp 750 per saham pada 2007 lalu. Isu yang jadi bahan bakar adalah sesumbar Dayaindo di bisnis batubara.

Tahun 2010, Dayaindo menggelar rights issue lagi dengan target dana fantastis senilai Rp 1,98 triliun. Duit itu antara lain untuk mengakuisisi perusahaan tambang nikel dan batubara, juga untuk modal kerja.

Rights issue dengan nilai jumbo itu sempat menimbulkan banyak kecurigaan dan spekulasi di kalangan investor ritel KARK terkait “permainan” manajemen Dayaindo semata yang ujung-ujungnya merugikan investor ritel. Dugaan itu masih belum terbukti hingga kini dan terhenti menjadi pergunjingan di kalangan pelaku pasar.

Tahun 2011, Dayaindo mampu mencetak laba bersih Rp 59,8 miliar. Asetnya mencapai Rp 2,86 triliun. Menginjak tahun 2012, kontroversi Dayaindo semakin memuncak. Dayaindo mangkir dari  kewajiban publikasi kinerja kuartal I–2012. Ini yang membuat otoritas bursa menyuspensi transaksi saham KARK dan mendendanya. Sepanjang tahun lalu, tak ada selembar pun publikasi hasil kinerja Dayaindo kepada BEI.

Tahun 2012, borok Dayaindo satu per satu terungkap. Yang paling pelik adalah masalah utang. Mengutip proposal restrukturisasi utang Dayaindo dan anak usahanya, PT Daya Mandiri Resources, total utang yang ditanggung Daya Indo  mencapai Rp 724,29 miliar.

Di antaranya adalah utang kepada Bank International Indonesia (BII) dan Bank Rakyat Indonesia (BRI), masing-masing Rp 90,5 miliar dan Rp 24,3 miliar. Pada November 2012, BII menggugat Dayaindo ke pengadilan karena dinilai mangkir. Gugatan itu dikabulkan dan buntutnya, Dayaindo dan anak usahanya masuk dalam proses penundaan kewajiban pembayaran utang (PKPU).

Asal tahu saja, pada Juli 2012, Dayaindo juga digugat pailit oleh SUEK AG, perusahaan Swiss, akibat dinilai wanprestasi perjanjian jual beli batubara. Namun, Dayaindo lolos dari lubang jarum. Dia “hanya” diwajibkan membayar ganti rugi US$ 1,97 juta pada SUEK.

Nah, menghadapi BII, posisi Dayaindo lebih runyam. BII mau menerima proposal damai asal emiten itu membayar down payment utang senilai Rp 15 miliar. Pengadilan memberikan tenggat hingga 30 Januari 2013. Malang, persis sepekan sebelum deadline datang, Sudiro ditemukan telah meninggal.

Kuasa hukum Dayaindo, Derta Rachmanto, mengakui tanpa kehadiran Sudiro, kasus ini akan berjalan lebih sulit.   Sebelum meninggal, Sudiro mengaku sudah memiliki jalan keluar untuk negosiasi dengan BII. Kini, masa depan Dayaindo  makin jadi pertanyaan. Juga, nasib 19% investor ritel yang duitnya tersangkut di saham KARK. “Tidak ada yang bisa dilakukan investor karena harga saham sudah mentok di Rp 50,” kata Hendra Martono, VP Business Strategic Development Henan Putihrai Sekuritas.

Peristiwa ini menjadi pelajaran yang berharga bagi para pelaku pasar modal!                    

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ruisa Khoiriyah