KONTAN.CO.ID - JAKARTA.
Siapa yang menanam, dia akan memanen. Adagium itu cocok menggambarkan perjalanan investasi Olivia Surodjo. Disiplin berinvestasi sejak muda, Direktur PT Metropolitan Land Tbk (
MTLA) ini kini siap memetik hasilnya. Olivia mulai berinvestasi sejak merintis karir profesional di Kanada pada tahun 2000. Lulusan administrasi bisnis dari Universitas Simon Fraser ini disiplin menyisihkan penghasilan bulanan untuk masuk ke instrumen reksadana. Kebiasaan ini dibawa Olivia saat kembali ke tanah air pada tahun 2002. Di Indonesia, Olivia tak hanya melirik reksadana. Perempuan kelahiran Surabaya, 8 Januari 1977 ini mulai rajin menanam investasi di sektor properti, khususnya dengan membeli lahan di lokasi strategis seperti di daerah Jabodetabek.
Menurut Olivia, investasi pada lahan memberi potensi
capital gain yang sangat menarik sebagai pilihan investasi jangka panjang. Asalkan, jeli dalam melihat prospek lokasi. Keahlian ini semakin terasah saat Olivia bergabung dengan Metland, nama beken dari Metropolitan Land.
Baca Juga: Tidak Rumit, Ini 8 Resep yang Bikin Warren Buffett Kaya Raya Olivia mengaku saat ini sudah masuk dalam fase panen, siap memetik hasil investasi lahan dan properti yang sudah ia tanam sejak 15 tahun-20 tahun lalu. Soal
capital gain, Olivia menggambarkan ada aset lahan yang kini harga pasarnya sudah naik lebih dari 200% di atas harga waktu ia membeli. Tetapi, meski sudah bisa mengantongi keuntungan yang menggiurkan, bukan berarti Olivia hendak menjual. Dia sangat selektif, tak sembarangan dalam melepas suatu instrumen investasi, apalagi berupa aset properti. Olivia ingin setiap menikmati keuntungan dari suatu investasi, maka harus di re-investasi kepada aset yang lain. "Seperti dulu bercocok tanam, sekarang bisa mulai memetik buahnya. Tapi tetap, sebagian harus ditanam lagi. ," kata Olivia kepada Kontan.co.id Selasa (19/3). Selain aset properti, Olivia gemar membiakkan uang di instrumen investasi lain yang lebih likuid atau dengan potensi
return yang bisa dinikmati lebih cepat. Pilihan Olivia adalah Surat Berharga Negara (SBN), obligasi negara atau reksadana pendapatan tetap. "Dari instrumen tersebut saya bisa mendapat suplemen income. Kalau dilihat-lihat, kombinasi portofolio saya memang konservatif, mungkin karena belum berjodoh sama yang spekulatif," ujar Olivia.
Baca Juga: Presiden Direktur BFI Finance (BFIN) Lepas Kepemilikan Saham Bukan tanpa alasan Olivia lebih nyaman dengan instrumen investasi yang konservatif. Pasalnya, dia dan suami pernah rugi besar akibat krisis finansial tahun 2008. Kala itu, Olivia dan suami getol trading di bursa saham Amerika Serikat. Olivia bercerita, saham yang dikoleksi kebanyakan dari sektor teknologi, dan termasuk saham
blue chip seperti Apple. Di sana, dia biasa untuk trading saham menggunakan margin. Suatu ketika saat berlibur ke Singapura, Olivia dan suami mendapat e-mail dari sekuritas supaya kembali menyetor dana. Namun tanpa sempat merespons, saham yang dimiliki terjual secara paksa
(forced sell) dalam posisi rugi. "Ternyata bursa sedang kolaps karena ada krisis. Belum rezeki di sini, tabungan kami sebagai karyawan beberapa tahun kerja hilang pada waktu itu," kenang Olivia. Dari sini Olivia belajar, meski berinvestasi pada instrumen yang dipahami dan di perusahaan yang bagus, tidak ada jaminan kita pasti mendulang cuan. Masih ada faktor di luar kendali investor atau perusahaan, sehingga penting untuk membatasi risiko. Salah satunya dengan diversifikasi portofolio. "Itu menjadi keharusan, karena jangan menaruh terlalu banyak pada satu keranjang. Juga yang terpenting, tidak boleh
greedy," tegas Olivia.
Baca Juga: Eks Dirut Taspen Diduga Mencuil Imbal Hasil Investasi Investasi Jam Mewah
Meski punya karakter investasi yang konservatif, tapi Olivia punya pikiran terbuka. Dia ingin belajar menyelami hal-hal baru, contohnya berinvestasi pada barang mewah seperti jam tangan. Ketertarikan Olivia pada jam tangan baru datang circa tahun 2019. Ketika beberapa anggota keluarganya mulai ada yang
make money. Sebelum itu, Olivia hanya memandang jam tangan sebagai barang fungsional yang nilainya akan terdepresiasi. "Saya mulai berubah pikiran. Kalau kita enggak salah beli, dari jam tangan ini bisa untung banyak, setidaknya enggak rugi. Sejelek-jeleknya, kan masih bisa kita pakai," sebut Olivia. Dus, Olivia pun hanya akan membeli jam tangan dengan model yang ia sukai. Sebagai aset investasi, saat ini Olivia mengoleksi tak kurang dari delapan jam tangan dari berbagai merek. Mulai dari Rolex, Hublot, Audemars Piguet hingga Richard Mille. Dari koleksi jam tersebut, Olivia pernah mendapatkan potensial
gain hingga 25% hanya dalam waktu empat bulan. Hanya saja Olivia masih enggan melepasnya. Bagi Olivia, investasi jam tangan juga tak jauh beda dengan investasi saham dengan orientasi jangka panjang. "Kita tidak akan langsung jual saat ada kenaikan harga. Kalau ada turun, naik, ya
ride the wave saja. Apalagi kalau suka barangnya, dan percaya
value-nya masih bisa naik lagi," tandas Olivia.
Baca Juga: Direktur Utama KISI AM, Mustofa, Bagikan Tips Bertahan di Tengah Gejolak Pasar Modal Saat ini, jam tangan dan perhiasan menempati sekitar 15% dari total portofolio investasi Olivia. Porsi terbesar ada di aset lahan dan properti sebanyak 45%. Sedangkan 40% lainnya diisi oleh beragam instrumen investasi seperti SBN, reksadana dan obligasi negara.
Tapi investasi bukan hanya soal cerita memanen cuan. Sebelum itu, Olivia menekankan pentingnya memananamkan kesadaran sejak usia muda tentang berinvestasi untuk masa depan. Jangan sampai terlena dan menghabiskan uang secara konsumtif. Olivia lantas mengingat saat dia "mengikat pinggang lebih kencang" untuk berdisiplin menyisihkan gaji bulanan. Olivia mengalokasikan 30% dari pendapatan untuk investasi dan 10% untuk persepuluhan, sementara sisanya untuk keperluan sehari-hari. "Jadi ada
mindset harus bisa hidup dengan 60% (penghasilan) itu. Anggap saja gaji cuma segini, tapi nanti kita sudah punya aset. Harus dimulai sejak muda agar multiplikasi
return-nya tinggi. Harus berpikir 10-20 tahun dari sekarang akan punya apa," pungkas Olivia. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati