Dirjen Dalu Agung Darmawan Sebut Museum Agraria Bisa Dukung Reforma Agraria



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dirjen Penataan Agraria Kementerian ATR/BPN Dalu Agung Darmawan menilai, pendirian museum agraria sebagai bagian dari upaya untuk memfasilitasi pelaksanaan reforma agraria dalam konteks pembangunan berkelanjutan.  

Dia menjelaskan, berdasarkan pada kondisi sejarah kelembagaan dan kebijakan agraria/pertanahan dari masa pra kemerdekaan sampai dengan pasca reformasi saat ini yang menunjukkan perubahan kelembagaan dan kebijakan yang sangat dinamis, maka diperlukan suatu upaya agar hal tersebut dapat terdokumentasi dengan baik.

“Salah satunya berupa pendirian museum agraria,” ungkap Dalu Agung Darmawan dalam keterangan pers tertulis, Selasa (3/10).


Baca Juga: Soal Konflik Pertanahan di Pulau Rempang, Ini Penjelasan Menteri ATR/BPN

Pada Rabu (27/9), Dalu Agung menjalani sidang promosi doktor di SB-IPB University, dan dinyatakan lulus dengan predikat cumlaude.

Dalam penelitian disertasinya, dia mengangkat topik “Penataan Ulang Kelembagaan dalam Menghadapi Perubahan Lingkungan Strategis di Bidang Agraria/Pertanahan dan Tata Ruang”.

Menurut Dalu Agung, keberadaan museum agraria akan mempermudah bagi para pelaku reforma agraria untuk dapat melihat ulang lintasan sejarah agraria yang selama ini belum terekam dengan baik secara terpadu.

“Proses penilikan sejarah tersebut tentunya akan membantu para pemangku kepentingan untuk secara lebih cermat dalam menentukan kebijakan agraria,” paparnya.

Selain itu, sambung Dalu Agung, keberadaan museum agraria akan membantu para generasi muda untuk dapat belajar secara lebih nyata perubahan kelembagaan dan kebijakan agraria pada masa lalu.

Baca Juga: Konflik Agraria Meningkat Sepanjang Tahun 2022

Dalu Agung menyebutkan bahwa dari hasil penelitian untuk disertasinya menunjukkan bahwa trayektori sejarah dinamika kelembagaan agraria telah panjang membentang sejak Republik Indonesia dilahirkan.

Namun demikian, tuturnya, setiap periode zaman dan pemerintahan memiliki tantangan politik dan masalah agraria yang berbeda-beda. Hal ini menghasilkan kebijakan agraria berikut terobosannya yang juga berbeda.

“Selalu tersisa gap antara niat ideal dan praktik implementasinya. Di antara faktor penentu utamanya adalah jenis kepemimpinan dan political will dari pemerintah,” paparnya.

Untuk itu, penting disarankan bahwa selain konsep dan desain perencanaan pembangunan dan program-program nasional agraria yang baik, diperlukan suatu mekanisme politik yang lebih demokratis dalam pemilihan pemimpin politik yang selaras dengan kebutuhan dan kewenangan kelembagaan yang diperlukan.

“Bukan semata pertimbangan politik pragmatis kekuasaan,” tegasnya seraya menambahkan bahwa dorongan dari kekuatan kelompok penekan, baik jaringan media, masyarakat sipil, dan kalangan akademisi penting dilakukan lebih signifikan dengan menjadi mitra kritis pemerintah.

Baca Juga: Bank Tanah Targetkan Perolehan Tanah 9.500 Hektare Tahun Ini

“Tujuannya  untuk memastikan political will pemerintah semakin kuat dalam menjalankan mandat konstitusinya, khususnya dalam bidang agraria, pertanahan dan tata ruang,” katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto