KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati akhirnya resmi mencopot jabatan Direktur Utama PT Pertamina Power Indonesia (PPI) Ginanjar pada Jumat 15 November 2019. Saat ini PPI adalah pimpinan konsorsium PLTGU Jawa 1 berkapasitas 1.760 Megawatt (MW) bersama Marubeni dan Sojitz. Proyek pembangkit bertenaga gas ini ditargetkan beroperasi 2021 Sebelum surat pencopotan itu keluar, Ginanjar ditawari jabatan Direksi di Elnusa atau Tugu. Namun Ginanjar menolak dua jabatan itu lantaran dirinya tak mendapat alasan lengkap tentang pencopotan dirinya yang mendadak. Padahal secara kinerja progres PLTGU Jawa 1 sudah mencapai 39%.
Baca Juga: Konsorsium PLTGU Jawa 1 raih development fee US$ 55 juta, legal atau ilegal? Drama pencopotan Ginanjar bukan tanpa sebab, tetapi ada beberapa masalah internal di dalam konsorsium PLTGU Jawa 1 yang diungkap Pertamina Power, terutama terhadap Marubeni. "Ya saya sudah tidak di PPI lagi per 15 November 2019," kata dia singkat ke Kontan.co.id, Jumat (16/11). Dengan dicopotnya Ginanjar maka posisi Direktur Utama Pertamina Power kosong, padahal proyek PLTGU Jawa 1 sedang dalam performa yang bagus. Baik dari sisi PLTGU ataupun FSRU. Bahkan proyek ini bisa saja terhenti sementara karena tidak ada pejabat yang bisa mengambil keputusan dalam tahap konstruksi ini. Lantas siapa yang akan menggantikan Ginanjar di posisi Direktur Utama Pertamina Power? Kabarnya Direktur Utama Pertamina Retail Sofyan Yusuf. "Gak lah, salah info kali," kata dia ke Kontan.co.id, Sabtu (16/11).
Sebelumnya diketahui, Ginanjar selama menjabat sebagai Direktur Utama Pertamina Power beberapa kali mengirim surat resmi ke bagian investigasi korporat untuk melihat beberapa keganjilan proyek PLTGU Jawa 1 di Cilamaya, Jawa Barat. Beberapa contoh kasus yang menimbulkan friksi yang cukup tajam di Konsorsium di antaranya: 1. Entering Fee: Bergabungnya Sojitz ke dalam Konsorsium. Entering fee adalah biaya yang dibayarkan oleh anggota baru pada suatu konsorsium yang sudah terbentuk sebelumnya, dengan besaran fee sesuai dengan kesepakatan para pihak. Dalam konteks Proyek IPP Jawa-1, berikut yang terjadi: A. Juni 2016: Saat Sojitz bergabung ke Konsorsium (Pertamina dan Marubeni), sebagai lead Konsorsium, PPI tidak menuntut entering fee ke Sojitz, karena yang paling penting bagi PPI adalah ‘menyelamatkan’ proyek agar tetap dapat mengikuti tender PLN, sehingga tidak pernah ada pembicaraan diantara 3 Sponsor (PPI, Marubeni, Sojitz) mengenai entering fee. B. September 2018: Sojitz menyampaikan kepada PPI bahwa Marubeni meminta “kompensasi” atas bergabungnya Sojitz ke dalam konsorsium dan Sojitz akhirnya menyepakati pembayaran kepada Marubeni. Sojitz mengira bahwa permintaan Marubeni tersebut atas sepengetahuan dan persetujuan PPI, padahal kenyataannya PPI tidak pernah diinformasikan & diminta persetujuan. C. Januari 2019: Sumber pendanaan entering fee sebesar USD 1.5 Juta yang akan dibayarkan oleh Sojitz kepada Marubeni dialokasikan dari Sponsors Development Fee porsi Sojitz, dimana untuk eksekusinya diperlukan persetujuan PPI. Oleh sebab itu, Marubeni terpaksa harus men-disclose kepada PPI perihal kesepakatan entering fee dengan Sojitz. D. Maret 2019: Atas dasar kekecewaan yang disampaikan PPI kepada Marubeni karena adanya kesepakatan ‘di bawah tangan’ yang tidak diketahui oleh PPI, Marubeni mengakui kesalahannya dan setelah beberapa kali diskusi, Marubeni dan PPI bersepakat untuk membagi entering fee 50:50 sesuai dengan proporsi saham. Namun kesepakatan ini tidak serta merta menutup fakta bahwa Marubeni telah berbuat kecurangan dan tidak transparan. Sebagai pembanding, di proyek lain yang dibangun oleh PPI (lead consortium) dan ENGIE, pada saat Sumitomo ingin bergabung ke dalam konsorsium dan menyanggupi untuk membayar entering fee, maka PPI segera menyampaikan kepada ENGIE untuk dibahas bersama-sama secara transparan dan pada akhirnya diputuskan melalui kesepakatan tiga pihak.
Editor: Azis Husaini