KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Rupiah kembali terpuruk dalam sebulan terakhir. Setelah sempat menyentuh Rp 13.878 per dolar Amerika Serikat (AS) pada 5 Juni kemarin, rupiah terus menukik kinerjanya. Pada Jumat (17/7), rupiah ditutup di level Rp 14.730 per dolar AS. Dengan demikian sejak 5 Juni silam hingga hari ini rupiah sudah melemah hingga 6.14%. Analis Global Kapital Investama Alwi Assegaf mengatakan terdapat beberapa faktor yang memicu pelemahan rupiah. Pertama, melonjaknya jumlah kasus virus corona di dunia dan dalam negeri mendorong investor menjauhi aset berisiko, termasuk rupiah.
“Rupiah juga tertekan setelah Bank Indonesia (BI) menyepakati berbagi beban utang (burden sharing) dengan pemerintah, bahkan BI rela membeli SBN Pemerintah dengan bunga 0%. Hal ini bisa berimbas pada tekanan inflasi, yang bisa membuat obligasi naik, dan yield obligasi akan turun,” kata Alwi kepada Kontan.co.id, Jumat (17/7). Baca Juga: Pemotongan suku bunga acuan mengerek IHSG pekan ini Selain itu, Alwi mengatakan rupiah juga semakin tertekan dengan adanya ancaman resesi. Hal ini disebabkan oleh PSBB DKI yang kembali diperpanjang. Hal ini terkait pula dengan proyeksi Bank Dunia mengenai prospek pertumbuhan Indonesia. World Bank memperkirakan ekonomi Indonesia tidak tumbuh alias 0%. “Bahkan skenario lebih buruknya, ekonomi Indonesia bisa mengalami kontraksi -2% pada 2020 jika resesi global ternyata lebih dalam. Sementara PDB kuartal III-2020 diperkirakan pada kisaran -1% sampai 1,2%, yang berarti bahwa ada risiko Indonesia mengalami resesi di kuartal III-2020 nanti, apalagi jika PSBB diperpanjang,” tambah Alwi. Dengan kondisi ini, Alwi menilai selama belum ada vaksin virus corona yang aman diluncurkan, yang bisa membuat ekonomi bergeliat tanpa kekhawatiran virus, rupiah akan sulit untuk menguat. Terlebih dari eksternal, munculnya ketegangan baru antara AS-China juga akan menjadi fokus.