Diskusi Panjang Harga Gas Murah Industri



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kelanjutan nasib harga gas murah sebesar US$ 6 per MMBTU untuk 7 sektor industri masih menanti lampu hijau pemerintah.

Diskusi lintas kementerian dan lembaga masih terus berlangsung untuk memastikan apakah kebijakan Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) akan dilanjutkan atau tidak.

Dua kementerian masih saling tarik ulur mengenai kebijakan harga gas murah ini. Kementerian Perindustrian gencar menyuarakan agar kebijakan HGBT dilanjutkan dan sektor industri penerima manfaat diperluas. Di sisi lain, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) enggan terburu-buru dan masih melakukan evaluasi implementasi harga gas murah untuk 7 sektor industri tersebut.


Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi Tutuka Ariadji mengatakan, sejumlah kementerian dan lembaga telah menyerahkan hasil evaluasi namun masih ada sejumlah data yang harus dilengkapi.

Baca Juga: PBB Ingatkan Bahaya Kerusakan Iklim: Dunia Hanya Punya Waktu Dua Tahun

Kementerian Perindustrian dan Direktorat Jenderal Ketenagalistrikan disebut telah melakukan evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT terhadap industri Pengguna Gas Bumi Tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT dan bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum.

Adapun, Kementerian Perindustrian telah menyampaikan data evaluasi pelaksanaan kebijakan HGBT melalui Surat Direktur Jenderal IKFT Nomor B/471/IKFT/IND/VIII/2021 tanggal 16 Agustus 2023, namun belum disertai dengan hasil evaluasi multiplier effect (nilai tambah yang terkuantifikasi) setiap industri Pengguna Gas Bumi Tertentu yang telah mendapatkan penetapan HGBT.

Sementara itu, Direktur Jenderal Ketenagalistrikan telah menyampaikan evaluasi implementasi HGBT di bidang penyediaan tenaga listrik bagi kepentingan umum melalui surat Nomor B-2506/TL.04/DJL.3/2023 tanggal 11 Agustus 2023, namun belum disertai dengan hasil evaluasi atas implikasinya terkait penerimaan perpajakan.

Tutuka mengungkapkan, dalam realisasinya penyerapan oleh Pengguna Gas Bumi Tertentu Bidang Industri Pupuk yang belum maksimal seperti di bidang pupuk.

"Dalam lima tahun terakhir ada kecenderungan penurunan volume realisasi HGBT untuk industri walaupun tidak begitu besar. Tidak optimalnya serapan volume oleh Pengguna Gas Bumi Tertentu khususnya Bidang Industri Pupuk antara lain disebabkan maintenance dan kendala operasi pabrik serta keterbatasan kemampuan pasokan hulu migas yang dikelola SKK Migas dalam hal ini dan adanya maintenance di sisi Hulu dan ketiga Kepmen 91 yang berlaku," ungkap Tutuka Dalam Rapat Dengar Pendapat Bersama Komisi VII DPR RI, Rabu (3/4).

Baca Juga: Iran Sita Kapal Kargo di Selat Hormuz Setelah Ancaman Penutupan

Sementara itu, Kemenperin juga meminta agar program HGBT sesuai Perpres Presiden Joko Widodo dilanjutkan, bahkan diperluas dengan prinsip no one left behind, bukan hanya untuk tujuh sektor industri yang saat ini menerima fasilitas tersebut.

Direktur Jenderal Industri Logam, Mesin, Alat Transportasi, dan Elektronika (ILMATE) Kementerian Perindustrian Taufiek Bawazier melaporkan total nilai HGBT yang dikeluarkan termasuk untuk listrik dari 2021 hingga 2023 sebesar Rp 51,04 Triliun. Sedangkan nilai tambahnya bagi perekonomian nasional sebesar Rp 157,20 Triliun, atau meningkat hampir tiga kali lipat.

“Artinya, manfaat dan multiplier effect-nya sangat besar bagi ekspor, pendapatan pajak, pengurangan subsidi pupuk, dan investasi,” tegas Taufiek, akhir Maret lalu.

Dari tujuh sektor industri penerima HGBT, industri pupuk, petrokimia, baja, keramik, kaca, oleokimia, serta sarung tangan karet berhasil meningkatkan nilai tambah ekspor pada tahun 2021-2023 sebesar Rp 84,98 triliun dengan nilai ekspor terbesar diraih oleh sektor oleokimia sebesar Rp 48,49 triliun.

Bukan hanya ekspor, peningkatan pajak juga diperoleh senilai Rp 27,81 triliun. Efek berganda dari pemberian HGBT juga mendorong investasi baru sebesar Rp 31,06 triliun, serta penurunan subsidi pupuk sebesar Rp 13,33 triliun akibat penurunan Harga Pokok Penjualan (HPP) produksi.

Baca Juga: Harga Minyak Melemah dalam Sepekan di Tengah Ketegangan Timur Tengah

Sektor Hulu Migas Minta Perencanaan Matang

Dalam implementasi HGBT, pemerintah senantiasa memastikan tidak ada pengurangan penerimaan maupun jatah Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS) yang dipangkas. Adapun, kebijakan harga gas murah ini mengorbankan jatah atau bagian pemerintah.

Meski demikian, Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas (Aspermigas) berharap pemerintah melakukan perencanaan jangka panjang yang matang.

Ketua Komite Investasi Aspermigas Moshe Rizal mengatakan, perlu ada kejelasan soal dampak yang mungkin timbul bagi sektor hulu migas dari implementasi harga gas, terlebih jika kebijakan ini dilanjutkan ataupun diperluas.

"Pembukuannya seperti apa, adakah perubahan kontrak atau seperti apa itu harus dipastikan. Jangan sampai ada masalah konsekuensi perpajakan yang ujung-ujungnya ditanggung KKKS," kata Moshe kepada Kontan.co.id, Minggu (14/4).

Baca Juga: Harga Minyak Melemah dalam Sepekan di Tengah Ketegangan Timur Tengah

Moshe melanjutkan, rencana perluasan sektor industri penerima harga gas murah memang perlu dievaluasi terlebih dahulu, salah satunya menyangkut ketersediaan pasokan maupun cadangan gas bumi nasional.

Menurutnya, peningkatan penyerapan gas tidak bisa dilakukan serta-merta pasalnya perlu ada perencanaan matang dari sisi produksi di hulu migas. Peningkatan produksi juga berarti bakal ikut mengerek biaya produksi.

Salah satu aspek yang cukup mempengaruhi yakni ketersediaan infrastruktur gas bumi. Untuk itu, Moshe mendorong pemerintah mengambil inisiatif dalam penyediaan infrastruktur gas bumi. Lebih jauh, langkah ini bakal menguntungkan pemerintah karena selisih harga gas bumi yang disubsidi dapat menjadi lebih murah.

Moshe mengungkapkan, selama tidak ada dampak finansial yang ditimbulkan bagi sektor hulu migas maka kebijakan harga gas murah untuk industri dapat dilanjutkan. Meski demikian, pemerintah perlu melakukan perencanaan secara matang. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati