KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan menetapkan kebijakan khusus administrasi perpajakan bagi Wajib Pajak yang terdampak bencana alam di Provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat pada tahun 2025. Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-251/PJ/2025 yang ditetapkan pada 15 Desember 2025. Dalam keputusan tersebut, DJP menyatakan bencana banjir, banjir bandang, tanah longsor, angin kencang, dan gempa bumi yang terjadi di tiga provinsi tersebut sebagai keadaan kahar (force majeure).
Penetapan ini menjadi dasar pemberian relaksasi kewajiban perpajakan bagi Wajib Pajak yang bertempat tinggal atau berkedudukan di wilayah terdampak.
Baca Juga: Pengamat Menilai Perlu Hati-hati Adopsi Rekomendasi Bank Dunia soal Pajak "Menetapkan keadaan darurat bencana alam yang terjadi di wilayah Provinsi Aceh, Provinsi Sumatera Utara, dan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2025," bunyi beleid tersebut, Kamis (18/12/2025). Melalui kebijakan ini, DJP memberikan penghapusan sanksi administratif atas keterlambatan pemenuhan kewajiban perpajakan, meliputi keterlambatan penyampaian Surat Pemberitahuan (SPT) Masa dan SPT Tahunan, keterlambatan pembayaran atau penyetoran pajak, serta keterlambatan pembuatan Faktur Pajak. Penghapusan sanksi berlaku untuk kewajiban perpajakan yang jatuh tempo dalam rentang 25 November 2025 hingga 31 Desember 2025. Wajib Pajak diberikan perpanjangan waktu untuk menyampaikan SPT serta melakukan pembayaran atau penyetoran pajak hingga 30 Januari 2026. Sementara itu, Faktur Pajak untuk Masa Pajak November dan Desember 2025 dapat dibuat paling lambat 30 Januari 2026.
Baca Juga: Bank Dunia Dorong Reformasi Pajak RI Demi Jaga Fiskal 2026–2027 DJP menegaskan, penghapusan sanksi dilakukan dengan tidak menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) maupun STP Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Apabila STP terlanjur diterbitkan, kepala kantor wilayah DJP akan menghapus sanksi tersebut secara jabatan. Selain itu, DJP juga memberikan perpanjangan batas waktu pengajuan berbagai permohonan perpajakan, termasuk keberatan, pengurangan atau penghapusan sanksi, pembatalan ketetapan pajak yang tidak benar, serta permohonan pengurangan PBB hingga 30 Januari 2026, apabila batas waktu semula berakhir pada periode bencana.
DJP memastikan bahwa keterlambatan penyampaian SPT akibat kondisi bencana ini tidak menjadi dasar pencabutan status Wajib Pajak kriteria tertentu maupun penolakan permohonan penetapan status tersebut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News