Ditjen Pajak kejar penunggak pajak pertambangan



JAKARTA. Setelah Asian Agri Group, kini Direktorat Jenderal Pajak mengincar perusahaan pertambangan yang diduga menunggak pembayaran pajak. "Nilainya setara Asian Agri," jelas Direktur Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak Yuli Kristiyono di Jakarta, akhir pekan lalu.

Sayang karena masih dalam tahap penyidikan, Yuli enggan menyebut detail perusahaan mana yang ia maksud. Yang jelas perusahaan tersebut bergerak di sektor batubara, dan disangka melakukan penunggakan pembayaran pajak pada periode tertentu.

Di mata kantor pajak, selama ini pembayaran pajak perusahaan tambang lebih sering bermasalah. Dari data Ditjen Pajak, sektor pertambangan merupakan usaha yang tingkat pelaporan Surat Pemberitahuan Pajak Tahunan (SPT) masih sangat buruk.


Terlebih, banyak perusahaan yang memiliki lahan kuasa pertambangan, tak mendaftar sebagai wajib pajak. Ini bisa terjadi lantaran izin usaha pertambangan saat ini diberikan oleh Pemerintah Daerah setempat.

Selain itu banyak juga pemilik izin pertambangan tidak mengeksploitasi sendiri tambang mereka. Mereka hanya terima imbalan bersih perusahaan besar tanpa tahu berapa banyak hasil tambang yang telah dikeruk dari lahannya.

Sebagai catatan sampai 15 Desember tahun lalu, penerimaan pajak penghasilan (PPh) dari sektor pertambangan batubara mencapai Rp 26,40 triliun, angka ini sedikit mengalami kenaikan periode yang sama 2011 yakni sebesar Rp 22,92 triliun. Tapi porsi dari seluruh penerimaan PPh tahun lalu hanya sekitar 6,59%.

Angka penerimaan ini agak mengherankan karena ekspor komoditas batubara tergolong besar. Setiap tahun rata-rata mencapai US$ 20 miliar.

Selain mengejar pengusaha batubara, Yuli bilang saat ini kasus yang paling banyak ditangani bagian Intelijen dan Penyidikan Ditjen Pajak didominasi dugaan faktur pajak fiktif pajak Pertambahan Nilai (PPN). "Yang paling banyak dari Sektor perdagangan dan manufaktur," tambahnya.

Modus operandi yang sering dipakai untuk faktur fiktif adalah mendirikan perusahaan fiktif, dan menerbitkan faktur pajak tapi tidak didukung transaksi uang dan barang. Perusahaan ini didirikan untuk menjual faktur pajak.

Walaupun jumlah kasusnya cukup banyak, tapi kerugian negara yang berasal dari sektor nilainya kecil. Sehingga dampaknya belum terlihat.

"Kami fokus ke kasus besar, agar dampaknya lebih signifikan," ujar Yuli. Misalnya kasus dugaan penggelapan pajak oleh PT Asian Agri Grup yang  nilainya Rp 1,5 triliun.

Asian Agri juga sudah membayar sebagian Surat Ketetapan Pajak yang dilayangkan kantor pajak, nilainya sekitar Rp 500 miliar. Penyidik pajak sudah menyerahkan delapan berkas tersangka, selain Suwir Laut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dikky Setiawan