KONTAN.CO.ID - MANADO. Batas waktu implementasi kerjasama pertukaran informasi perpajakan otomatis atau
Automatic Exchange of Information (AEoI) memang masih setahun lalu. Namun Indonesia masih menyisakan sejumlah pekerjaan rumah (PR) persyaratan yang harus dipenuhi agar lolos mengikuti AEoI. Jika gagal, Indonesia bakal tersisih dari penerapan AEoI sehingga tidak bisa memburu wajib pajak nakal yang bersembunyi di luar negeri. Persyaratan itu adalah Indonesia harus lolos tiga
assessment yang dimulai bulan ini. Kepala Sub Direktorat Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional, Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan (Kemkeu), Leli Listianawati memaparkan, dua
assessment adalah untuk AEoI dan satu
assessment untuk
Exchange of Information (EoI) on Request. Ketiga hal itu sama-sama berkaitan dengan pelaksanaan pertukaran data perpajakan.
Untuk AEoI, Indonesia sedang dan sudah melalui
assessment on confidentiality and data safeguards dan
assessment on legal assessment. Indonesia sudah menjawab sejumlah kuesioner dan asesor sudah membuat draf laporan. "Draf laporan itu akan dibahas pada AEoI Group pada Desember 2017," kata Leli kepada KONTAN, Sabtu (25/11). Untuk memenuhi
assessment ini, pemerintah sudah memiliki Undang-Undang (UU) No 9/2017 tentang Pengesahan Peraturan Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk Kepentingan AEoI. "Berdasarkan draf penilaiannya, kita sudah sesuai standar. Hasil resmi dibahas Desember nanti di San Marino. Saya yakin akan lolos," jelas Leli. Untuk
EoI on Request, Indonesia juga sudah dan sedang menjalani
Peer Review Assessment dan Indonesia sudah menjawab semua kuesionernya. Tahap selanjutnya adalah
on site visit oleh asesor pada November ini. Setelahnya, asesor dari global forum OECD akan membuat draft
report yang akan dibahas di
Peer Review Group Meeting pada Juni 2018. Dalam
assessment EoI by request ini, OECD memiliki standar baru, yakni adanya aturan komprehensif untuk bisa mengakses
beneficial ownership (BO). Sejauh ini Indonesia belum punya aturan yang memadai untuk akses BO secara menyeluruh. Tergantung presiden Wakil Ketua Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Dian Ediana Rae menyatakan, PPATK sebagai inisiator beserta instansi terkait sudah menyelesaikan perpres BO. Saat ini, peraturan itu tinggal menunggu diteken Presiden Joko Widodo. Sebelumnya, Indonesia punya batas waktu hingga April 2018 guna memiliki aturan BO. "Secara substantif, saya kira sudah tidak ada isu lagi mengenai Perpres BO ini. Tinggal proses legal teknis saja, mudah-mudahan tidak lama lagi keluar," jelas Dian, akhir pekan lalu. Staf Ahli Bidang Hubungan Kelembagaan Bappenas Diyani Sadyawati menerangkan, isi Perpres BO mencakup ketentuan dan langkah-langkah transparansi yang harus dipatuhi oleh seluruh pelaku industri. Perpres juga memperluas cakupan dan menggabungkan aturan-aturan yang sudah dimiliki Indonesia soal BO. Selama ini, ketentuan BO hanya berlaku di sektor keuangan dan masih tersebar di tiap kementerian/lembaga.
Setelah perpres ini terbit, pemerintah akan merevisi sejumlah aturan lainnya agar sejalan dengan transparansi BO. Salah satu kajian revisi yang disiapkan adalah UU Perbankan. Perubahan aturan juga akan dilakukan di ranah Kementerian Hukum dan HAM dalam rangka pendaftaran usaha. Aspek ini akan karena selama ini lebih bersifat pasif atau hanya dari notaris. Revisi UU Badan Usaha juga akan lebih dipertajam lagi untuk BO agar terbuka dan dapat diakses oleh publik. Untuk dua revisi UU ini, Diyani menyatakan, sudah ada pembicaraan dengan Bank Indonesia (BI), Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan PPATK. "Jadi kami harapkan dengan masih banyaknya UU yang masih jalan sendiri-sendiri dengan signifikansi ini akan memperjelas transparansi BO di Indonesia," jelas Diyani. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Dupla Kartini