Ditjen Pajak menepis tudingan pajak menekan daya beli konsumen atas



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak menegaskan tidak relevan mengaitkan penurunan konsumsi dengan upaya mengejar target penerimaan pajak.

Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Humas Direktorat Jenderal Pajak Hestu Yoga Saksama mengatakan berbagai upaya yang dilakukan Ditjen Pajak merupakan suatu reformasi perpajakan yang terukur dan tetap dalam konteks menjaga kondisi ekonomi yang kondusif.

Reformasi tersebut meliputi bidang administratif seperti peningkatan kualitas pelayanan, edukasi, revitalisasi pemeriksaan, perbaikan basis data dan pemanfaatannya, proses bisnis dan sistem informasi, maupun policy measures seperti Tax Amnesty, akses informasi keuangan seperti domestik dan AEOI, dan upgrading international tax issues.


Reformasi itu, secara keseluruhan bertujuan untuk mendorong kepatuhan sukarela masyarakat atau Wajib Pajak.

“Ini tidak akan menyasar, tetapi justru memberikan fairness bagi wajib pajak yang sudah patuh,” ungkapnya kepada Kontan.co.id, Selasa malam (24/4).

Sebelumnya, hasil kajian Center of Reform on Economics (Core) terbaru juga menunjukkan, lambatnya pemulihan daya beli masyarakat akibat kebijakan pemerintah yang tak berimbang.

"Pemerintah cenderung meningkatkan daya beli di masyarakat bawah melalui percepatan dan peningkatan penyaluran bantuan sosial (bansos), sedangkan di masyarakat (berpendapatan) menengah bawah tidak disentuh," kata Muhammad Faisal, Direktur Core..

Kementerian Keuangan (Kemkeu) mencatat, realisasi belanja bansos kuartal I-2018 mencapai Rp 17,9 triliun atau 23,2% dari alokasi. Jumlah itu naik dua kali lipat dibandingkan periode sama tahun lalu yang hanya Rp 9,5 triliun.

Namun, pemerintah belum memulihkan daya beli masyarakat kelas menengah ke atas yang memiliki kontribusi sebesar 83% terhadap konsumsi. Hal itu terbukti dari hasil survei penjualan eceran Bank Indonesia (BI).

Penjualan eceran pada Januari dan Februari 2018 mencatatkan pertumbuhan negatif dari bulan ke bulan. Januari 2018 pertumbuhan indeks penjualan riil turun 7,3% dan Februari kembali susut 1,7%.

Core menduga hal itu merupakan imbas kebijakan pajak. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak sempat mengeluarkan aturan pembuatan faktur pajak dengan data di kartu tanda penduduk (KTP), meski kemudian ditunda sampai batas waktu tak ditentukan. Lalu, ada kebijakan pelaporan data transaksi kartu kredit.

Kebijakan represif pajak dilakukan untuk mengejar target pajak tahun ini yang tinggi Rp 1.424 triliun, naik hampir 24% dibandingkan pencapaian tahun 2017. "Yang kami khawatirkan kalau potensinya tidak sampai segitu, tapi dipaksa mengejar target, akhirnya adalah semacam intimidasi," jelas Faisal.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Yudho Winarto