Ditjen pajak serius pajaki sektor ekonomi digital



JAKARTA. Direktorat Jenderal (Ditjen) Pajak Kementerian Keuangan akan lebih gencar menyisir potensi pajak yang selama ini belum optimal di beberapa sektor. Salah satunya sektor ekonomi digital. Namun demikian, Indonesia saat ini belum memiliki instrumen khusus untuk memajaki bisnis digital. Meski begitu, beberapa waktu lalu Indonesia telah menandatangani MLI di Prancis.

Dengan instrumen tersebut, menurut Kasubdit Pertukaran Informasi Perpajakan Internasional Leli Listianawati, dalam MLI tersebut penentuan Badan Usaha Tetap (BUT) tidak lagi ditentukan dengan treaty yang ada. “Yang ada saat ini harus ada fix based, dengan treaty yang saat ini ada tidak bisa tertangkap. Tapi dengan MLI ini ada perubahan definisi dari penentuan BUT itu sendiri sehingga diharapkan dengan MLI kita bisa menangkap adanya treaty abuse,” kata dia di kantor Ditjen Pajak, Selasa (13/6). Di Indonesia, permasalahan BUT sendiri ada dalam penentuan pajak OTT lantaran yang ada di Indonesia bukan kantor tetap, melainkan hanya server. Pengamat Pajak DDTC Darussalam mengatakan, saat ini hampir seluruh negara di dunia mengalami kesulitan dalam upaya memajaki perusahaan multinasional yang berbasis ekonomi digital seperti Google, Twitter, Facebook karena model bisnis digital yang tidak berbentuk fisik memutus 'perhubungan (nexus)' antara suatu penghasilan dengan yurisdiksi tempat perolehan penghasilan tersebut. “Sistem pajak internasional saat ini juga belum memiliki solusi yang disepakati (konsensus) secara global. Apakah semua negara memiliki harapan yang tinggi dalam memperoleh pajak dari model bisnis tersebut? Jawabannya, ya,” katanya. Ia melanjutkan, tantangan membidik pajak OTT terletak pada dua hal. Pertama, masalah status kewajiban pajak. Dengan model bisnis digital, OTT pada umumnya bisa menghindari status BUT. Padahal, tanpa adanya BUT di negara sumber, negara sumber tidak dapat mengenakan pajak atas laba usaha yang diperoleh subjek pajak luar negeri yang bersumber di negara tersebut. “Sebenarnya, definisi BUT bisa saja diperluas dalam ketentuan domestik, namun sayangnya selama model tax treaty (Perjanjian Penghindaran Pajak Berganda/P3B) belum diubah, definisi yang diperluas dalam aturan domestik tersebut tidak akan berpengaruh (karena status hukum P3B lebih tinggi dari ketentuan domestik),” ucapnya. Jika pun OTT tersebut sudah dianggap sebagai BUT, maka persoalan berikutnya adalah bagaimana memastikan bahwa negara sumber bisa memperoleh alokasi pajak yang proporsional dengan penghasilan yang pada dasarnya terkait dengan aktivitas ekonomi di negara sumber tersebut. Pasalnya Penting untuk diketahui bahwa prinsip alokasi laba perusahaan multinasional dianggap wajar jika laba yang diperoleh sesuai dengan fungsi, aset, dan risiko (FAR) yang dijalankan. Menurutnya, ketika membicarakan laba dari bisnis digital, hal tersebut tidak semata-mata tergantung dari FAR. “Misalkan dari jumlah pengguna aktif suatu aplikasi di suatu negara. Dengan demikian, bisa saja suatu perusahaan berbasis digital beroperasi dengan FAR yang minimum di suatu negara, namun sejatinya meraup untung yang besar dari iklan bagi pengguna di suatu negara,” katanya. Terkait MLI, Indonesia sendiri telah memilih 33 negara untuk saling mengimplementasikan pasal-pasal tertentu termasuk terkait BUT itu. Leli mengatakan, Indonesia dalam hal ini memprioritaskan negara-negara Asean. “Beberapa yang kami pertimbangkan, pertama hubungan politik, kedua treaty-nya kurang menguntungkan, ketiga geografis, harusnya Singapura yang termasuk Asean juga dipilih,” kata dia.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Editor: Hendra Gunawan