JAKARTA. Indonesia harus memenuhi syarat lainnya untuk menjalankan Automatic Exchange of Information (AEoI), yakni akses terhadap beneficial owner. Head of Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD Monica Bhatia mengatakan, terkait hal ini Indonesia akan segera direview oleh OECD. Pasalnya, menurut Monica, global forum memiliki standar bahwa semua member harus memenuhi persyaratan tersebut. Yakni adanya identifikasi beneficial ownership dari semua entitas, perusahaan, lembaga dan lain-lain. Menurut Monica, asesmen putaran pertama telah selesai dan peringkat kepatuhan sudah ditetapkan. Selanjutnya, di putaran kedua akan ada revisi kerangka acuan yang sekarang mencakup persyaratan beneficial ownership. “Di asesmen sebelumnya, kami belum memasukkan beneficial ownership sebagai penilaian, tetapi di asesmen kedua kami akan menyertakan itu. Indonesia akan direview di putaran berikutnya untuk memenuhi standar beneficial ownership itu,” kata Monica saat ditemui usai menjadi pembicara di Konferensi Pajak Internasional. Sementara itu, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa pihaknya yakin bisa memenuhi persyaratan tersebut, ”Bisa, bisa. Yakin bisa," kata Ken di Gedung DPR usai rapat bersama Banggar DPR, Kamis (13/7) malam. Adapun Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa pihaknya akan berusaha untuk memenuhi persyaratan baru ini. “Tentunya Indonesia akan siap pada waktunya,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (14/7). Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan syarat baru ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk merangkul visi yang sama antara berbagai lembaga. “Itu tuntutan yang sangat besar dan tidak mudah apabila dengan kapasitas sumber daya manusia yang sekarang ini ada. Harus di-lead bukan dari internal, ini kepentingan negara. OJK penting, BI penting, PPATK penting, dalam hal ini harus punya visi yang serasi,” kata dia. Yustinus melanjutkan, selama ini sudah ada inisiatif dari berbagai pihak yang menuntut keterbukaan beneficial ownership, yakni OECD dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “ Beneficial owner memang beririsan dengan pajak, tapi lebih luas. Problemnya saat ini, bila sudah diketahui beneficial owner-nya, law enforcement belum tentu bisa dilakukan. Masih ada kemungkinan saling kunci. Perbankan bisa menguncinya, dan lain-lain,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
Ditjen Pajak siap penuhi syarat tambahan dari OECD
JAKARTA. Indonesia harus memenuhi syarat lainnya untuk menjalankan Automatic Exchange of Information (AEoI), yakni akses terhadap beneficial owner. Head of Global Forum on Transparency and Exchange of Information OECD Monica Bhatia mengatakan, terkait hal ini Indonesia akan segera direview oleh OECD. Pasalnya, menurut Monica, global forum memiliki standar bahwa semua member harus memenuhi persyaratan tersebut. Yakni adanya identifikasi beneficial ownership dari semua entitas, perusahaan, lembaga dan lain-lain. Menurut Monica, asesmen putaran pertama telah selesai dan peringkat kepatuhan sudah ditetapkan. Selanjutnya, di putaran kedua akan ada revisi kerangka acuan yang sekarang mencakup persyaratan beneficial ownership. “Di asesmen sebelumnya, kami belum memasukkan beneficial ownership sebagai penilaian, tetapi di asesmen kedua kami akan menyertakan itu. Indonesia akan direview di putaran berikutnya untuk memenuhi standar beneficial ownership itu,” kata Monica saat ditemui usai menjadi pembicara di Konferensi Pajak Internasional. Sementara itu, Dirjen Pajak Ken Dwijugiasteadi mengatakan bahwa pihaknya yakin bisa memenuhi persyaratan tersebut, ”Bisa, bisa. Yakin bisa," kata Ken di Gedung DPR usai rapat bersama Banggar DPR, Kamis (13/7) malam. Adapun Direktur Penyuluhan, Pelayanan dan Hubungan Masyarakat (P2Humas) Hestu Yoga Saksama mengatakan bahwa pihaknya akan berusaha untuk memenuhi persyaratan baru ini. “Tentunya Indonesia akan siap pada waktunya,” ujarnya kepada KONTAN, Jumat (14/7). Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo mengatakan syarat baru ini akan menjadi tantangan bagi Indonesia. Oleh karena itu, penting untuk merangkul visi yang sama antara berbagai lembaga. “Itu tuntutan yang sangat besar dan tidak mudah apabila dengan kapasitas sumber daya manusia yang sekarang ini ada. Harus di-lead bukan dari internal, ini kepentingan negara. OJK penting, BI penting, PPATK penting, dalam hal ini harus punya visi yang serasi,” kata dia. Yustinus melanjutkan, selama ini sudah ada inisiatif dari berbagai pihak yang menuntut keterbukaan beneficial ownership, yakni OECD dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), “ Beneficial owner memang beririsan dengan pajak, tapi lebih luas. Problemnya saat ini, bila sudah diketahui beneficial owner-nya, law enforcement belum tentu bisa dilakukan. Masih ada kemungkinan saling kunci. Perbankan bisa menguncinya, dan lain-lain,” ujarnya. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News