Ditjen Pajak: Transfer pricing jadi masalah global



JAKARTA. Program amnesti pajak atau tax amnesty akan selesai pada Maret 2017 mendatang. Salah satu rencana pemerintah guna mengoptimalkan pendapatan pajak adalah dengan mengamankan potensi pajak dari manipulasi transfer pricing.

Direktur Perpajakan Internasional Ditjen Pajak John Hutagaol mengatakan, masalah manipulasi transfer pricing ini adalah permasalahan global. Selama ini, adanya entitas perusahaan dalam grup yang beroperasi di negara yang berbeda-beda kerap menjadi permaian perusahaan memanfaatkan perbedaan sistem pajak.

“Malaysia, Indonesia, AS, Australia, dan lain-lain menghadapi masalah yang sama. Ini tidak bisa diselesaikan secara unilateral atau bilateral, sehingga ini harus diselesaikan bersama-sama dengan masyarakat global,” ujarnya saat ditemui di Gedung Ikatan Akuntan Indonesia (IAI), Jakarta, Kamis (2/2).


Oleh karena itu, lewat PMK 213 pemerintah mengatur perusahaan afiliasi untuk menyampaikan transfer pricing documentation yang terdiri dari master file, local file, dan country by country report (CbCR).

“Kita harus sama-sama memerangi ini karena kalau ada yang tidak action, maka Wajib Pajak (WP) bandel akan lari ke sana,” kata John.

John mengatakan, ke depannya CbCR tersebut akan dipertukarkan oleh DJP dengan negara-negara lainnya. Dengan ditandatanganinya kesepakatan Country by Country Multilateral Competent Authorities Agreement (CbC MCAA) pada 26 Januari 2016 lalu, Indonesia telah berkomitmen dalam pertukatan CbCR antar negara.

“Kita bekerja dengan negara-negara dan juridiksi lain dalam The Inclusive Framework on BEPS yang terdiri dari 94 negara, yang sudah komitmen pertukaran CbCR ada sekitar 50 negara, antara lain Rusia, Jepang, dan Australia,” jelasnya.

Ia menjelaskan, dari beberapa risiko pajak yang terjadi akibat profit shifting atau yang dikenal dengan BEPS, totalnya ada 600 miliar usd secara global yang hilang setiap tahunnya. Sementara khusus negara berkembang kehilangannya adalah 200 miliar usd. Nah, salah satu penyebabnya adalah manipulasi transfer pricing

Terpisah Kasubdit Pencegahan dan Penanganan Sengketa Perpajakan Internasional Ditjen Pajak Achmad Amin mengatakan, ada beberapa perusahaan di Indonesia mempunyai transaksi afiliasi dan hanya menerima pricing dari induknya di luar negeri namun tidak mengetahui latar belakangnya.

“Tidak ada dasar penentuannya, sehingga dengan PMK 213 ini WP didorong untuk disclose dan secara tidak langsung induknya sadar bahwa harus berikan informasi yang komplit pada anak perusahaan supaya tidak ada risiko koreksi di Indonesia,” ujarnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Sanny Cicilia