KONTAN.CO.ID - LINGGA. Kesal karena pengembalian sertifikat tanahnya yang tak kunjung menemui titik terang, warga Desa Linau, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga, Kepulauan Riau (Kepri), akhirnya menempuh jalur hukum. Mereka melaporkan Direktur Utama PT SSLP berinisial BP ke Polres Lingga dengan tuduhan penggelapan sebagaimana dimaksud dalam pasal 372 KUHP. Aksi pelaporan warga Desa Linau yang diwakili Ketua Koperasi Unit Desa Usaha Bersama (Kopuma), Yufik Safita ke Polres Lingga diterima langsung Kepala Sentra Pelayanan Kepolisian Terpadu (SPKT), IPDA Agus Marianto dengan Surat Tanda Penerimaan Laporan (STPL) Nomor : STPL/ 22/ XII/ 2018/ SPKT-RESLINGGA, tanggal 31 Desember 2018. Menurut Yusfik, kasus penggelapan sertifikat yang dilaporkannya itu bermula saat Bupati Lingga Daria menerbitkan surat Izin Usaha Perkebunan (IUP) Kelapa Sawit kepada PT SSLP di Desa Linau dengan Nomor: 26.a/ KPTS/IV/ 2005.
"Selanjutnya perusahaan melakukan pembukaan lahan dan mendirikan pabrik pengolahan kayu di sekitar lokasi rencana perkebunan kelapa sawit," kata Yusfik, Selasa (1/1). Untuk meyakinkan warga Linau bahwa perusahaan tersebut serius akan membangun perkebunan kelapa sawit, Direktur Utama PT SSLP berinisial BP membuat perjanjian kerja sama dengan ketua Kopuma tentang Kemitraan Inti Plasma Proyek Pengembangan Usaha Budidaya Tanaman Kelapa Sawit Seluas 1.000 hektar di Desa Linau yang ditandatangani di hadapan notaris Yondri Darto SH di Batam, tanggal 1 Maret 2006. Tujuan awalnya, kerja sama ini baik untuk membantu pendapatan petani transmigrasi. Makanya, dibuatlah kerja sama kemitraan. Salah satu kesepakatannya, warga memberi kuasa kepada Direktur Utama PT SSLP untuk menjaminkan sertifikat tanahnya ke lembaga keuangan guna mendapatkan kredit untuk pembiayaan perkebunan kelapa sawit ini. Bahkan dalam perjanjian itu, tambah Yusfik, warga juga menyetujui bertanggung jawab atas angsuran kredit melalui pemotongan setiap bulan oleh perusahaan dari hasil penjualan Tandan Buah Segar (TBS) selama 7 sampai 10 tahun. Sedangkan perusahaan bertanggung jawab atas pendanaan pembangunan perkebunan sampai pendirian pabrik kelapa sawit (PKS) dan pemasaran. "Tapi sampai saat ini perkebunan itu tidak ada, pabrik juga tidak ada, tapi perusahaan masih menahan 400 persil sertifikat tanah kami. Padahal, sesuai perjanjian di notaris, apabila perusahaan melalaikan kewajibannya, artinya tidak membangun perkebunan, PKS dan lainnya, maka seluruh biaya yang telah dikeluarkan menjadi tanggung jawab perusahaan dan sertifikat tanah petani dikembalikan tanpa syarat apa pun," jelasnya. Untuk mendapatkan hak-hak warga Linau, lanjut Yusfik, khususnya mendapatkan sertifikat tanahnya kembali, berbagai upaya penyelesaian di luar pengadilan sudah dilakukan. Tapi, pihak perusahaan selalu berdalih dan meminta uang tebusan sebesar Rp 4 milir sebagai pengganti biaya pengurusan sertifikat di kantor Badan Pertanahan Nasional (BPN). "Karena kami sudah tak punya jalan keluar, ya terpaksa kami menempuh jalur hukum. Mudah-mudahan masih ada secercah keadilan untuk masyarakat kecil seperti kami. Jika jalur hukum ini masih juga tak mempan, kami akan coba tempuh jalur lain," paparnya.
Sementara itu, Bupati Lingga Alias Wello yang dihubungi menyampaikan apresiasi langkah hukum yang ditempuh warga Linau untuk mendapatkan sertifikat tanahnya. Bahkan Alias Wello berjanji akan menugaskan salah seorang staf khususnya untuk mendampingi warga dalam memperjuangkan hak-haknya. "Ketika penyelesaian di luar pengadilan tak mempan lagi, ya solusinya jalur hukum. Kami apresiasi dan siap memberikan pendampingan. Kalau perlu, kami bawa sampai ke presiden," tegas Alias Wello. (Hadi Maulana) Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul
"Dituding Gelapkan 400 Sertifikat Tanah, Dirut Perusahaan Sawit Dilaporkan ke Polisi" Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Handoyo .