Diwarisi Lanskap Ekonomi Sulit, Akankah Janji-janji Prabowo Terealisir?



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Prabowo Subianto resmi dilantik sebagai Presiden ke-8 Republik Indonesia pada tanggal 20 Oktober 2024. Prabowo memiliki visi dan misi yang ambisius untuk mendorong perekonomian Indonesia pada masa kepemimpinannya.

Ekonomi Universitas Paramadina Wijayanto Samirin membeberkan, beberapa visi dan misi tersebut di antaranya, mengerek pertumbuhan ekonomi 8% pada akhir masa jabatannya. 

Kemudian, keberlanjutan fiskal dengan meningkatkan rasio pendapatan pemerintah terhadap PDB menjadi 23%, naik dari 12,36% yang mengecewakan pada tahun 2023.


Di sektor pertambangan, Prabowo telah menjadikan pengolahan mineral hilir, yang juga diperkenalkan oleh Widodo, sebagai salah satu prioritas utamanya. Selain itu, Program Makan Siang Gratis yang sangat ambisius untuk semua anak Indonesia dapat menghabiskan biaya negara.

Baca Juga: IMF Ramal Pertumbuhan Ekonomi RI Mentok 5,1%, Airlangga: Kita Belum Keluarkan Jurus

Dalam pidato pelantikannya sebagai Presiden, Prabowo mengatakan Indonesia dapat mencapai swasembada pangan dalam 4-5 tahun ke depan.

Meski begitu, Wija menyebut, realitas ekonomi Indonesia saat ini cukup mengecewakan. Terdapat kesenjangan yang signifikan antara data dan kondisi di lapangan, sebagian besar disebabkan oleh masalah definisi dan pengukuran.

“Prabowo mewarisi lanskap ekonomi yang sulit, sehingga sulit untuk mewujudkan janjinya. Ia akan menghadapi setidaknya tiga tantangan utama,” tutur Wija dalam keterangan tertulis, Kamis (24/10).

Baca Juga: IMF Ramal Ekonomi Hanya Tumbuh 5,1%

Tantangan pertama, kondisi fiskal yang lemah dan tidak berkelanjutan. Wija mencatat Presiden Jokowi mengandalkan utang untuk membiayai program populis dan proyek infrastruktur yang mahal, yang mengakibatkan utang publik meningkat lebih dari tiga kali lipat menjadi Rp 8.461 triliun pada akhir masa jabatannya. Suku bunga yang tinggi dan utang jangka pendek semakin memperumit masalah.

Pada tahun 2025, 16,6% dari pendapatan pemerintah akan dibutuhkan untuk pembayaran bunga, dengan 43,3% digunakan untuk pembayaran bunga dan pokok.

“Mengingat janji-janji Prabowo tentang subsidi dan program sosial, utang akan terus menjadi sumber pendanaan utama, yang melanggengkan ketidakberlanjutan fiskal,” ungkapnya.

Kedua, deindustrialisasi. Wijayanto membeberkan, kontribusi manufaktur terhadap produk domestik bruto (PDB) terus menurun, dari 21,1% pada tahun 2014 menjadi hanya 18,7% pada tahun 2023, dengan tren yang semakin cepat baru-baru ini.

Baca Juga: Presiden Prabowo Bawa Menteri ke Magelang, Bahas Hilirisasi hingga Pencegahan Korupsi

Hal ini mengakibatkan penurunan pekerjaan formal berkualitas tinggi, yang membuat lebih dari 60% penduduk Indonesia bergantung pada pekerjaan informal bergaji rendah.

Secara historis, industrialisasi telah menjadi jalan menuju status berpendapatan tinggi, tetapi menurutnya, tren ini dapat membuat perjalanan Indonesia lebih lama dan lebih sulit.

Ketiga, inefisiensi ekonomi. Wija menyampaikan, meskipun fokus Presiden Jokowi pada infrastruktur dan reformasi regulasi, ekonomi Indonesia tetap tidak efisien. 

Biaya logistik pada tahun 2023 mencapai 24% dari PDB, jauh lebih tinggi dibandingkan negara tetangga seperti Vietnam (16,7%), Thailand (15%), Malaysia (13%), dan Singapura (8,5%).

Selain itu, Rasio Incremental Capital Output (ICOR) Indonesia mencapai 6,51 pada tahun 2023, naik dari 4,4 pada tahun 2014, sehingga daya saingnya masih kalah dibandingkan negara tetangga.

Dengan permasalahan tersebut, Wija menilai tanpa perbaikan yang signifikan, bisnis Indonesia akan kesulitan untuk tumbuh di dalam negeri dan bersaing di tingkat regional.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Herlina Kartika Dewi