Djarot: Proyek MRT tertinggal karena hal remeh



JAKARTA. Wakil Gubernur DKI Jakarta non-aktif, Djarot Saiful Hidayat, mengatakan Jakarta tertinggal jauh bila dibandingkan dengan Singapura dalam hal mass rapid transit (MRT).

Menurut Djarot, perencanaan pembangunan MRT di Jakarta dan Singapura hampir bersamaan. Namun pembangunan di Jakarta tak kunjung dieksekusi karena selalu mempersoalkan hal yang remeh.

"Kita enggak nyangka kenapa sih kok kita tertinggal dengan Singapura. Singapura sudah bangun MRT. Perencanaannya sudah pada 1986, karena kita mikir yang remeh-temeh, enggak ada keberanian eksekusi," kata Djarot di Jakarta, Rabu (8/3).


Kini pembangunan MRT di Jakarta mulai dilakukan. Namun, ada perubahan rencana pembangunan. Sebelumnya pembangunan MRT direncanakan dari Bundaran HI-Kampung Bandan. Kini pembangunannya akan diperpanjang menjadi Bundaran HI-Ancol Timur.

Perpanjangan rute hingga Ancol Timur itu dilakukan karena pembangunan depo di Kampung Bandan tidak memungkinkan. PT Kereta Api Indonesia (KAI) sebagai pemegang konsesi lahan di Kampung Bandan sudah menjalin komitmen kerja sama dengan pihak lain.

Djarot heran harus ada pemindahan depo MRT dari Kampung Bandan ke Ancol. Menurutnya, seharusnya ada pembicaraan antara pihak-pihak terkait untuk menyelesaikan persoalan itu. "PT KAI itu milik pemerintah bukan sih? Kan bisa dibicarakan, apalagi sudah ada Perpresnya, orang sama-sama milik pemerintah, BUMN kan. Apa memang betul-betul enggak bisa sehingga harus ke Ancol," kata dia.

Menurut Djarot, apabila MRT, light rail transit (LRT) selesai dibangun, dan electronic road pricing (ERP) diterapkan, kemacetan di Jakarta akan teratasi. Apalagi jika LRT sudah mencapai daerah-daerah penyangga Ibu Kota. Selama ini, sebagian besar kendaraan yang masuk ke Jakarta berasal dari kota penyangga. Apabila pembangunan transportasi masal selesai, Djarot yakin warga akan meninggalkan kendaraan pribadi.

Lanjut Djarot, persoalan teknis terkait pembangunan MRT sebenarnya gampang dipecahkan. "Yang ditanyain ini kan hal teknis, yang gampang dipecahin. Dan ini jangan sampai hal teknis mengalahkan hal prinsip," tegasnya.

Djarot meminta DPRD dan Pemprov DKI Jakarta duduk bersama untuk membicarakan pembangunan MRT. Menurutnya, DPRD seharusnya tidak membicarakan hal-hal yang teknis karena fungsi DPRD mengurus kebijakan (policy) dan political will. Sementara hal-hal yang bersifat teknis diserahkan kepada ahlinya.

Kata Djarot, political will terkait MRT yakni pembangunan koridor Selatan-Utara. "Apalagi sudah ada Perpres. Kita jangan sampai terjebak karena hal yang remeh-temeh seperti itu, prinsipnya terlupakan," tuturnya.

Pemprov DKI Jakarta melalui PT MRT mengajukan tambahan pembiayaan sebesar Rp 16 triliun untuk proyek MRT Jakarta jalur Selatan-Utara atau Koridor Lebak Bulus-Ancol Timur. Namun, Wakil Ketua DPRD DKI Jakarta Triwisaksana mengatakan, DPRD DKI Jakarta kemungkinan akan menolak pengajuan tambahan anggaran tersebut.

Alasannya, saat ini sudah ada transportasi commuter line yang dioperasikan PT KAI Commuter Jabodetabek (KCJ) sebagai moda transportasi dari dan ke wilayah itu. Dia menilai, akan menjadi pemborosan jika kembali ada pembangunan transportasi dengan rute yang sama.

"Sudah ada commuter line dari Jakarta Kota ke Ancol. Jadi pakai yang sudah ada. Kenapa harus mengeluarkan Rp 16 triliun untuk pembangunan MRT," katanya, saat rapat dengan Pemprov DKI Jakarta, Selasa.

Alasan lain adalah, pemerintah pusat juga berencana membangun jalur LRT dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Kemayoran, Jakarta Pusat. Jalur itu beririsan dengan jalur Bundaran HI-Ancol Timur. Jika ada MRT, akan terjadi tumpang tindih jenis moda angkutan.

Triwisaksana juga mengklaim, pembangunan MRT dari Bundaran HI-Ancol Timur tidak diperlukan, karena tidak banyak warga yang menggunakan jalur tersebut sehingga tak perlu menyediakan terlalu banyak moda transportasi di daerah itu.

(Nursita Sari)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Dupla Kartini