Djatmiko Wardoyo: Investasi di properti



JAKARTA. Memiliki latar belakang keluarga yang konservatif ikut mempengaruhi pola pikir Djatmiko Wardoyo, Direktur Marketing dan Komunikasi PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA) dalam berinvestasi.

Kedua orangtua Djatmiko berprofesi sebagai pegawai negeri sipil (PNS) dengan sembilan orang anak. Mereka tidak begitu memikirkan untuk berinvestasi di produk tertentu. Bagi orangtua Djamiko, uang yang ada adalah untuk menyekolahkan anak-anaknya. Ini adalah hal terpenting.

Ini pula yang menurun pada Koko, panggilan karib Djatmiko.  Koko terbilangkonservatif dalam berinvestasi. Ia memutar sebagian besar dananya di properti seperti rumah dan tanah. Investasi ini tersebar di sejumlah daerah di Jakarta dan Yogyakarta.


Awal mula Koko berinvestasi tahun 2003. Saat itu, dia bekerja di Global Teleshop Group. Hermes Thamrin, pemilik Global Teleshop Group yang berjasa mengenalkan Koko untuk berinvestasi pada properti.

Hermes mengajarkan Koko agar berani berinvestasi di properti. Saat itu, ia masih berusia 31 tahun dan masih ragu-ragu untuk memulai membeli properti. Setelah memiliki niat dan nyali yang cukup, Koko akhirnya membeli rumah dengan luas tanah sekitar 200 m² dan bangunan sekitar 90 m² di Yogyakarta.

Kala itu, Koko membeli tanah tersebut dengan harga Rp 90.000 per m². Saat ini, harga tanah milik Koko telah melonjak hingga mencapai Rp 600.000 per m². "Ada orang yang menawar akan membeli di harga Rp 600.000 per m², namun tidak saya lepas," ujar mantan Presiden Direktur Global Teleshop Group itu.

Masih perlu belajar

Kini investasi Koko di properti sudah cukup banyak. Sekitar 80% dana investasinya, ia tempatkan pada properti dan lahan. Koko beranggapan, investasi di sektor ini bisa menghasilkan return tinggi dibandingkan menempatkan dana di tabungan atau deposito.

Selain itu, jumlah penduduk Indonesia yang terus tumbuh juga membuat harga properti terus naik. Pasalnya, kebutuhan lahan dan properti akan terus bertambah.

"Pertumbuhan properti di Indonesia merupakan salah satu yang terbesar di dunia sehingga saya melihat properti msih menjadi alternatif investasi dengan return yang paling bagus," ujar alumnus Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta itu.

Ia juga beranggapan, risiko berinvestasi di properti nyaris tidak ada. Ia pun tidak memiliki tips khusus dalam memilih lokasi properti yang potensial. Tak di properti, Koko juga berinvestasi di produk perbankan.

Sekitar 10% dana investasi,  ia tempatkan pada deposito dan sisanya sebesar 10% berada di produk perbankan lain, seperti tabungan berencana. "Perbankan akan menawarkan return tertentu apabila nasabah secara rutin menambah dana dalam kurun waktu tertentu," papar Koko.

Sebetulnya, Kokok juga menggenggam saham ERAA melalui program management and employee stock option plan (MSOP). Tapi, khusus yang satu ini, Koko enggan menyebutnya sebagai investasi.

Pria kelahiran Yogyakarta, 14 Mei 1971 itu mengaku baru mengenal pasar modal ketika Erajaya mencatatkan saham perdana pada akhir 2011 lalu. Karena baru seumur jagung, Koko belum berani memutar investasinya pada instrumen-instrumen pasar modal seperti saham ataupun obligasi.

Koko berpendapat, saham bersifat spekulatif sehingga perlu dipelajari. Selain itu, berinvestasi di saham juga membutuhkan waktu yang banyak untuk menganalisis sisi fundamental, teknikal, serta pergerakan saham. "Waktu untuk mempelajari itu yang belum saya miliki," tutur Koko.

Sebagai investor yang konvensional, ia juga memandang arti uang tidak terlalu tinggi, yakni hanya sebagai sarana. Banyak orang memandang uang sebagai tujuan hidup, sehingga memanfaatkan segala cara demi uang. "Sedangkan kalau saya melihat uang sebagai sarana menjadi orang yang lebih baik," kata dia.

Meski begitu, Koko berniat akan mencoba menjadi investor yang agresif dalam lima tahun ke depan. Dengan catatan, ia telah memiliki pengetahuan yang cukup.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Rizki Caturini