KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan terus berupa agar
tax ratio alias rasio pajak Indonesia sampai ke titik angka idealnya. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kepatuhan Pajak Yon Arsal mengatakan bahwa target penerimaan pajak yang melonjak menjadi Rp 1.718 triliun belum cukup untuk menjaga kesinambungan fiskal (
fiscal sustainability). Ia menyampaikan, setidaknya rasio pajak di suatu negara harus mencapai angka 15% agar menjadi negara yang
sustain untuk memiliki pendanaan yang cukup dan merealisasikan berbagai program pembangunannya. Untuk itu, Yon mengatakan bahwa DJP terus berupaya agar rasio pajak Indonesia bisa menuju ke titik tersebut.
"Dengan kolaborasi seluruh pihak, saya pikir kita mudah-mudahan bisa mencapai titik poin 15% yang
sustainable fiskal tadi kondisinya," ujar Yon dalam acara Podcast Cermati: Kilas Balik 2022, Kamis (29/12).
Baca Juga: BKF: Pemanfaatan Insentif Pajak di Kawasan Ekonomi Khusus Masih Sepi Peminat Yon bilang, peran DJP dalam mengumpulkan penerimaan pajak harus ada kolaborasi dari seluruh partisipasi masyarakat. Bahkan, DJP selalu menjalin komunikasi dan kerja sama dengan para konsultan pajak hingga para akademisi untuk mencari terobosan-terobosan baru dalam administrasi perpajakan. "Nah, harapannya tentu di tahun 2023 nanti berbagai kebijakannya akan diturunkan itu lebih mencerminkan apa kebutuhan dan juga mengoptimalkan berbagai tantangan dan peluang yang dimiliki oleh negara ini," katanya. Memang, rasio pajak Indonesia cenderung mengalami penurunan setiap tahunnya. Berdasarkan data Kementerian Keuangan, rasio pajak tahun 2019 mencapai 8,42% terhadap Produk Domestik Bruto 9PDB). Kemudian pada tahun 2020 menurun menjadi 6,95% terhadap PDB. Meskipun pada akhirnya, di tahun 2021 kembali naik menjadi 7,53% namun angka tersebut masih rendah jika dibandingkan dengan rasio pajak 2019. Begitu juga dengan rasio pajak yang hanya ditargetkan sebesar 8,17% pada tahun 2030, atau lebih rendah dibandingkan dengan
outlook tahun ini yang sebesar 8,35%. Mengutip dari buku Rencana Strategis DJP tahun 2020-2024, terdapat beberapa faktor yang masih membebani rasio pajak Indonesia. Pertama, ketergantungan terhadap komoditas sumber daya alam (SDA) membuat ekonomi Indonesia sensitif terhadap fluktuasi harga komoditas di pasar Internasional. Oleh karena itu, penurunan permintaan pasar Internasional atas komoditas dalam negeri atau pelemahan harga komoditas di pasar Internasional dapat berdampak negatif terhadap penerimaan pajak. Kedua, Indonesia merupakan negara kedua di dunia dengan kontribusi sektor pertanian tertinggi terhadap PDB. Hanya saja, meski kontribusi sektor ini terhadap PDB adalah 12,8% kontribusi pajaknya hanya 1,9% dari total penerimaan pajak sehingga berdampak minimal terhadap penghitungan
tax ratio. Selain dua hal tersebut, masih banyak lagi faktor yang menyebabkan
tax ratio Indonesia cenderung rendah.
Baca Juga: Pengamat: RPP Tarif Pemotongan PPh 21 Sejalan dengan Reformasi Pajak Indonesia Sebelumnya, Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengatakan bahwa
tax ratio atau rasio pajak memberikan gambaran umum kondisi perpajakan serta kapasitas sistem perpajakan suatu negara. Terkait
tax ratio ke depannya, Prianto mengatakan tentu saja pemerintah ingin agar
tax ratio terus meningkat. Target pemerintah di tahun 2022 ada di 15% untuk
tax ratio agar pendanaan pembangunan tidak lagi mengandalkan utang. “Kalaupun ada utang, toleransi menurut UU keuangan Negara ada di kisaran 13%,” kata Prianto kepada Kontan.co.id, dikutip Kamis (29/12). Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Tendi Mahadi