DJP gugat kurator atas pembagian aset Yinchenindo



JAKARTA. Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mendaftarkan gugatan keberatan dan permohonan renvoi prosedur atas pengumuman pailit PT Yinchenindo Mining Industry. DJP mengajukan perlawanan atas pembagian bagi hasil pajak yang hanya Rp 2,91 miliar, padahal total piutang pajak Yinchenindo sebesar Rp 90,7 miliar.

Gugatan keberatan tersebut didaftarkan pada 11 April 2014 melawan kurator Yinchenindo, Binsar Halomoan Nababan. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua Eko Widodo dalam berkas perlawanannya mengatakan, negara hanya memperoleh pembagian Rp 2,91 miliar dari lelang aset Yinchenindo. Padahal kreditur separatis yakni Tennan Metal mendapatkan bagian sebesar Rp 1,7 miliar.

Berdasarkan pasal 1137 KUHPer, negara mempunyai hak mendahulu untuk pajak atas barang-barang milik penanggung pajak. Hak mendahulu untuk utang pajak itu melebihi segala hak mendahulu lainnya. Dalam dalam hal wajib pajak dinyatakan pailit atau bubar atau dilikuidasi, maka kurator likuidator dilarang membagikan harta wajib pajak dalam pailit kepada pemegang saham atau kreditur lainnya sebelum menggunakan harta tersebut untuk membayar utang pajak wajib pajak.


Artinya, pembayaran kepada kreditur lainnya seharusnya baru diselesaikan setelah utang pajak terlebih dahulu dilunasi. Negara merupakan kreditur preferen yang mempunyai hak mendahulu atas utang pajak di atas kreditur lainnya termasuk kreditur separatis yakni Tennan Metal.

Namun dalam kenyataannya, kurator Yinchenindo telah membuat daftar pembagian yang tidak menempatkan piutang pajak sebagai prioritas pembayaran. Tindakan kurator tersebut merupakan pelanggaran dan perlawanan terhadap UU. Penyusunan daftar pembagian hasil lelang Yinchenindo yang disetujui hakim pengawas tidak didasarkan pada UU dan bahkan bertolak belakang dengan ketentuan UU. Dan tindakan tersebut, termasuk perbuatan melawan hukum dan berpotensi merugikan keuangan negara atau pendapatan pajak sebesar Rp 87,778 miliar.

Kantor pajak juga keberatan terhadap biaya tahap pengurus kepailitan sebesar Rp 894,5 juta. Soalnya, biaya pengumuman putusan pailit di koran sebesar Rp 28,5 juta dinilai terlalu besar. Kurator harus bisa membuktikan pengeluaran tersebut. Biaya administrasi, surat menyurat dan rapat-rapat kreditur sebesar Rp 104,7 juta , biaya pengamanan aset pailit sebesar Rp 414,2 juta terasa sangat tidak wajar dan terlalu besar.

Demikian juga biaya appraisal atau penilai sebesar Rp 110 juta. Kantor pajak juga keberatan atas tidak dimasukkanya pendapatan bunga dari hasil penjualan boedoel pailit Yinchenindo yang disimpang di dalam rekening bank. Maka demi akuntabilitas dan transparansi pengurusan kepailitan, Eko meminta Pengadilan Niaga Jakarta Pusat untuk meminta kurator melaporkan pendapatan bunga dari hasil penyimpanan hasil penjualan boedoel pailit di rekening bank dan memasukknya sebagai tambahan boedoel pailit yang harus dibagikan.

Dengan sistem pembagian kurator ini, Eko menilai kurator telah melanggar UU dan tidak memberikan perlindungan terhadap kepentingan negara dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Penanaman Modal Asing Dua. Karena itu, Kantor pajak meminta agar majelis hakim PN Jakarta Pusat memerintahkan kurator mengutamakan pelunasan piutang pajak sebesar Rp 90,17 miliar dan memeirntahkan kurator membuktikan keberatan jumlah total biaya kepailitan sebesar Rp 894,6 juta.

Terkait hal itu, kurator Yinchenindo, Binsar Halomoan Nababan dalam jawabannya mengatakan kebaratan Kantor Pajak tersebut telah melewati batas waktu yang ditentukan UU. Karena itu, keberatan Kantor Pajak tidak dapat diterima. Soalnya, Binsar telah melaksanakan pembagian sesuai dengan daftar pembagian harta pailit Yinchenindo tanggal 1 April 2014 dan telah diumumkan. Karena itu, telah mengikat serta berkekuatan hukum tetap terhadap seluruh kreditur dan debitur pailit.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Uji Agung Santosa