KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Paket Kebijakan Ekonomi XVI, yang salah satunya mencakup relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) baru saja dirilis. Kali ini pemerintah membuka 54 bidang usaha, yang salah satunya industri alat kesehatan (alkes). Ahyahudin, Manajer Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) mengaku cukup kaget dengan keputusan tersebut. Padahal sebelumnya pemerintah sudah berkomitmen kepada sektor obat, farmasi dan alat kesehatan agar mampu dikembangkan secara lokal. Namun Ahyahudin juga memaklumi kalau pemerintah punya keinginan agar ada penambahan investasi asing tersebut, dengan harapan dapat berpindahnya lini produksi ke Indonesia. "Meski ini kontraprofuktuf dengan keinginan pemerintah agar industri yang berbasis lokal mampu mandiri," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Dengan adanya peraturan baru ini, bagi industri alkes lokal menjadi tantangan sebab belum lama bertumbuh. "Industri lokal jadi sulit, tanpa dibuka pun (DNI) kami masih balita dan belum mature, misal persoalan supply chain ekosistemnya belum terbentuk dengan baik," ungkap Ahyahudin. Apalagi industri alkes lokal baru mendapatkan perhatian dalam beberapa tahun belakangan, dengan ketergantungan akan bahan baku impor yang besar. Bicara pasar alkes di Indonesia tergolong besar, hampir mencapai US$ 20 juta setiap tahunnya. Hanya saja kue dari pemain lokal, kata Ahyahudin, tergolong kecil sebab semuanya masih bermain di produk low to middle yang harganya tidak sebanding dengan produk alkes high tech. "Dapat market share 10% saja sudah bagus," katanya. Dari sisi demand, menurut Aspaki masih terus bertumbuh. Apalagi ditengah pembangunan fasilitas kesehatan, ketersediaan alkes tak dapat dielakkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News
DNI Alkes dicabut, Aspaki nilai pemerintah kontraproduktif
KONTAN.CO.ID -JAKARTA. Paket Kebijakan Ekonomi XVI, yang salah satunya mencakup relaksasi Daftar Negatif Investasi (DNI) baru saja dirilis. Kali ini pemerintah membuka 54 bidang usaha, yang salah satunya industri alat kesehatan (alkes). Ahyahudin, Manajer Eksekutif Asosiasi Produsen Alat Kesehatan Indonesia (Aspaki) mengaku cukup kaget dengan keputusan tersebut. Padahal sebelumnya pemerintah sudah berkomitmen kepada sektor obat, farmasi dan alat kesehatan agar mampu dikembangkan secara lokal. Namun Ahyahudin juga memaklumi kalau pemerintah punya keinginan agar ada penambahan investasi asing tersebut, dengan harapan dapat berpindahnya lini produksi ke Indonesia. "Meski ini kontraprofuktuf dengan keinginan pemerintah agar industri yang berbasis lokal mampu mandiri," ujarnya kepada Kontan.co.id, Minggu (18/11). Dengan adanya peraturan baru ini, bagi industri alkes lokal menjadi tantangan sebab belum lama bertumbuh. "Industri lokal jadi sulit, tanpa dibuka pun (DNI) kami masih balita dan belum mature, misal persoalan supply chain ekosistemnya belum terbentuk dengan baik," ungkap Ahyahudin. Apalagi industri alkes lokal baru mendapatkan perhatian dalam beberapa tahun belakangan, dengan ketergantungan akan bahan baku impor yang besar. Bicara pasar alkes di Indonesia tergolong besar, hampir mencapai US$ 20 juta setiap tahunnya. Hanya saja kue dari pemain lokal, kata Ahyahudin, tergolong kecil sebab semuanya masih bermain di produk low to middle yang harganya tidak sebanding dengan produk alkes high tech. "Dapat market share 10% saja sudah bagus," katanya. Dari sisi demand, menurut Aspaki masih terus bertumbuh. Apalagi ditengah pembangunan fasilitas kesehatan, ketersediaan alkes tak dapat dielakkan. Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News