Dokumen CIPP JETP Masih Perlu Banyak Ditinjau



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengemukakan penundaan dokumen perencanaan dan kebijakan investasi komprehensif (comprehensive investment and policy plan, CIPP) dalam kerja sama transisi energi yang adi (Just Energy Transition Partnership/JETP) karena masih banyak hal yang perlu ditinjau kembali. 

Sebelumnya, CIPP JETP dijadwalkan rampung pada Agustus 2023, namun bertepatan pada tenggatnya, Sekretariat JETP mengumumkan dokumen tersebut baru bisa ada pada akhir tahun 2023. 

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Arifin Tasrif menyatakan dokumen CIPP masih perlu di-review


“CIPP dokumennya kan banyak, masih memang perlu di-review,” ujarnya saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (1/9). 

Baca Juga: CSIS: Dinamika Politik Domestik & Global Perlu Jadi Perhatian Untuk Menyukseskan JETP

Menteri ESDM menegaskan, penundaan CIPP ini bukan karena persoalan hibah yang terlalu mini dalam pendanaan JETP. 

Asal tahu saja, dalam pemaparan Kementerian ESDM sebelumnya,  Indonesia akan mendapatkan dana hibah (grant) senilai US$ 160 juta atau setara Rp 2,4 triliun dari total pendanaan US$ 20 miliar atau Rp 300 triliun. 

Institute for Essential Services Reform (IESR) menilai, penundaan CIPP JETP perlu dilakukan untuk penyempurnaan dokumen demi memenuhi target yang disepakati dan merumuskan kerja sama transisi energi yang adil serta membuka konsultasi publik yang lebih luas.

Direktur Eksekutif IESR, Fabby Tumiwa mengatakan, untuk meraih target menurunkan emisi puncak gas rumah kaca (GRK) yang ditetapkan dalam JETP hingga 290 MT CO2 tahun 2030, mencapai bauran energi terbarukan menjadi 34%  tahun 2030, dan mencapai emisi nol bersih (Net Zero Emission, NZE) pada tahun 2050, setidaknya diperlukan dana sebesar US$ 130 sampai dengan US$ 150 miliar.

Salah satu strategi adalah dengan melakukan penurunan kapasitas PLTU melalui pensiun dini atau pensiun secara alami sebelum 2030. IESR memperkirakan penurunan kapasitas PLTU dapat mencapai 8,6 GW perlu dilakukan secara bertahap hingga 2030. Ini tidak termasuk penurunan kapasitas PLTU off-grid, di luar wilayah usaha PLN.

“Hingga saat ini, minat IPG dan GFANZ untuk menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sangatlah rendah, padahal pengurangan PLTU diperlukan untuk meningkatkan penetrasi energi terbarukan,” kata Fabby dalam keterangan resmi, Rabu (29/8). 

IESR memperkirakan biaya pensiun dini tersebut mencapai US$ 4 miliar, di bawah nilai perkiraan yang diberikan oleh PLN sebelumnya. Menurut Fabby, IPG harus mau menyediakan pendanaan pensiun dini PLTU sebagai konsekuensi keterlibatan mereka dan mempertahankan kredibilitas JETP itu sendiri.

Selain itu, IESR memandang penyempurnaan dokumen CIPP akan memperjelas jumlah dana yang dibutuhkan untuk proyek prioritas, di antaranya seperti pengembangan pipeline proyek energi terbarukan. 

Berdasarkan studi IESR, kebutuhan pendanaan untuk transisi energi hingga 2050 apabila ingin sesuai dengan target Persetujuan Paris, investasi yang perlu dikeluarkan Indonesia senilai US$ 1,3 triliun atau rata-rata US$ 30 miliar hingga US$ 40 miliar setiap tahun. Sementara itu, apabila hanya sampai 2030 dibutuhkan paling tidak US$ 130 miliar.

IESR memandang alokasi porsi hibah di dalam skema JETP perlu ditingkatkan untuk mendukung aspek transisi berkeadilan yang luas serta transformasi aktor utama agar bisa mengimplementasikan CIPP yang ambisius dalam waktu dekat. 

Setidaknya porsi hibah diperlukan sekitar 10%-15% atau US$ 2 miliar hingga US$ 3 miliar dalam skema JETP untuk mengeksekusi transisi energi di Indonesia. IESR menyadari bahwa meningkatkan alokasi hibah dalam skala yang diusulkan memerlukan kerja sama dan komitmen kuat baik dari pemerintah Indonesia maupun dari mitra internasional dalam JETP. 

Melalui kolaborasi yang erat, pihak-pihak yang terlibat diharapkan dapat membantu memenuhi kebutuhan finansial ini dan memastikan keberhasilan transisi energi yang berkelanjutan di Indonesia.

Manajer Program Transformasi Energi IESR, Deon Arinaldo menyatakan, JETP perlu mendukung proses transisi energi di Indonesia, tidak hanya sekedar menentukan proyek prioritas untuk mencapai target saja. 

Baca Juga: Menilik Alasan di Balik Penundaan Peluncuran CIPP JETP

“Karena JETP membutuhkan perubahan sistemik, maka butuh peningkatan kapasitas aktor utama seperti PLN dan kementerian/lembaga terkait, pendanaan hibah untuk menyusun perubahan-perubahan regulasi/kebijakan, serta juga mendukung aktor yang terdampak jika JETP diimplementasikan nanti, misalnya pekerja di tambang batubara atau masyarakat umum di dekat proyek PLTU,” ujarnya. 

IESR juga menekankan pentingnya melibatkan konsultasi publik yang lebih luas dalam proses pengambilan keputusan terkait JETP. Membuka kesempatan bagi berbagai pemangku kepentingan untuk memberikan masukan akan memastikan bahwa proyek ini mencerminkan kebutuhan dan aspirasi masyarakat secara lebih akurat. Transparansi dan partisipasi masyarakat yang lebih besar akan memperkuat legitimasi JETP dan menghasilkan hasil yang lebih berkelanjutan.

Analis Senior IESR, Raditya Wiranegara mengungkapkan, di awal proses penyusunan dokumen ini, kesekretariatan JETP hanya menggelar satu sesi FGD yang dibuka untuk komunitas masyarakat sipil. 

“Harapannya, di leg kedua proses penyusunan dokumen ini, jumlah sesi FGD bisa ditingkatkan menjadi lebih dari sekali. Tak kalah penting, draf dokumen ini musti bisa dibagikan terlebih dahulu agar dapat dipelajari sebelum sesi FGD,” tandasnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Handoyo .