KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Peredaran dolar Amerika Serikat (AS) kian meluber sejak pandemi covid-19. Kucuran stimulus di Negeri Paman Sam serta lonjakan permintaan secara global membuat peredaran dolar AS naik signifikan. Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan arus peredaran dolar AS sekitar dua dekade terakhir, jumlah yang dicetak baru mencapai US$ 750 miliar-US$ 800 miliar pada tahun 2004. Peredaran dolar meroket pada akhir 2008 hingga ke level US$ 2,2 triliun, sebagai respons terhadap krisis ekonomi yang menimpa kala itu. Ketika krisis pandemi covid-19 melanda pada tahun 2020, peredaran dolar AS kembali melesat tinggi sampai ke US$ 7,17 triliun. Lonjakan terus terjadi hingga mencapai level US$ 9 triliun pada pertengahan tahun lalu.
Baca Juga: Begini Pandangan Schroder Indonesia terhadap Industri Pasar Modal 2023 Head of Research Phintraco Sekuritas Valdy Kurniawan membeberkan, salah satu indikator peredaran dolar AS yang meluber adalah melesatnya
debt to Gross Domestic Product (GDP)
ratio AS. Pada tahun 2021,
debt to GDP AS sebesar 137,2%. Bandingkan dengan tahun 2019 ketika
debt to GDP ratio AS masih berada di 106,8%. Padahal, level ini sudah merupakan kondisi tertinggi sejak tahun 2013. Kenaikan rasio utang terhadap produk domestik bruto (PDB) mulai signifikan pada tahun 2020 seiring stimulus yang diberikan pemerintah AS dan bank sentral untuk meredam dampak negatif dari pandemi. Salah satu dampak yang sudah dirasakan adalah lonjakan inflasi, khususnya di AS sendiri. "Dengan demikian perlu dilakukan normalisasi atau pengetatan kebijakan moneter oleh The Fed, salah satunya dengan menaikkan suku bunga acuan secara agresif," kata Valdy kepada Kontan.co.id, Rabu (18/1).
Baca Juga: Kurs Rupiah Kembali Menguat Hari Ini (18/1) Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro turut memandang, peredaran dolar AS bertambah secara signifikan saat pandemi covid-19. Kemudian The Fed berusaha menyedot kelebihan dolar AS dengan mengerek suku bunga acuan alias Federal Funds Rate (FFR). Langkah The Fed memaksa bank sentral di berbagai negara untuk ikut melakukan pengetatan moneter, termasuk bagi Bank Indonesia (BI). Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo melihat langkah bank sentral mengerek suku bunga untuk menekan inflasi sementara ini tampak menunjukkan hasil yang apik. "Lapangan kerja tumbuh lebih cepat dan perlahan inflasi mulai turun sehingga tekanan ke bank sentral untuk menaikkan suku bunga jadi berkurang. Kita lihat belakangan ini rupiah juga mulai pulih karena pelemahan dolar baru berlangsung," imbuh Sutopo. Sementara itu, Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri menyoroti jumlah uang beredar di AS yang tercatat sebesar US$ 21,35 triliun per November 2022. Jumlah uang beredar turun sejak Agustus 2022 yang ada di posisi US$ 21,71 triliun. Nilai tersebut juga menjadi posisi terendah sejak Januari 2022. Tendensi penurunan jumlah uang beredar juga dibarengi dengan mulai melandainya tingkat inflasi yang tercatat sebesar 6,5% pada Desember 2022, dibandingkan level tertinggi di 9,1% pada Juni 2022. "Namun laju inflasi saat ini masih diharapkan terus turun menuju sasaran jangka panjang The Fed di level 2%. Sehingga jumlah uang beredar juga menurun ke sekitar US$ 15 triliun," ujar Reny.
Baca Juga: Wall Street Menguat Akibat Data Ekonomi AS yang Melambat Daya Tahan Indonesia
Menimbang pasang surut peredaran dolar dan laju inflasi di Negeri Paman Sam, lantas bagaimana dampaknya terhadap ekonomi dan pasar modal Indonesia? Menjawab pertanyaan itu, Reny menilai perekonomian dan pasar Indonesia masih cukup tangguh terhadap risiko eksternal. Termasuk di dalamnya risiko dari kenaikan suku bunga acuan, inflasi AS, dan meningkatnya peredaran dolar AS. Indikatornya, inflasi domestik masih terkendali di kisaran 5,5% pada tahun 2022 dan berpotensi terpangkas menjadi 3,6% pada tahun 2023. Selanjutnya, pasar modal Indonesia mulai mengalami
inflow seiring tekanan eksternal yang mereda. "Begitu pula dengan potensi penurunan
yield obligasi dan suku bunga yang kenaikannya relatif terbatas atau tidak seagresif tahun 2022," terang Reny. Reny memperkirakan, nilai tukar rupiah juga cenderung menguat ke level Rp 15.285 per dolar AS pada akhir tahun 2023. Menimbang cadangan devisa Indonesia yang masih solid, meski jumlahnya berfluktuasi, Nico juga punya optimisme yang sama.
Baca Juga: Pembagian Dividen Diperkirakan Ramai Tahun Ini, Awas Dividend Trap Apalagi, kurs rupiah saat ini sedang berada di tren penguatan pada level Rp 15.100-an dari sebelumnya sempat stagnan di level Rp 15.500 per dolar AS–Rp 15.600 per dolar AS. Selain itu, kebijakan Devisa Hasil Ekspor (DHE) terbaru akan membuat dana valas hasil ekspor bisa kembali membanjiri pasar domestik. "Sehingga berpotensi kembali meningkatkan cadangan devisa dan stabilisasi rupiah. Jadi saya menilai Indonesia sedang melakukan usaha terbaik untuk kembali memperkuat rupiah di tengah banjir dolar AS," urai Nico. Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana menambahkan, meski Indonesia cukup punya data tahan, tapi mitigasi juga mesti dilakukan dengan memperkuat struktur ekonomi domestik. Terutama dengan mendorong konsumsi dan investasi di dalam negeri. Langkah lainnya adalah diversifikasi penggunaan mata uang asing dan mitra dagang baik dari sisi ekspor maupun impor untuk mengurangi risiko terhadap gerak dolar AS. Upaya ini dapat didorong melalui skema penyelesaian transaksi bilateral menggunakan mata uang lokal atau Local Currency Settlement (LCS). "Jadi di dalam negeri pakai rupiah, di luar negeri harus gunakan mata uang yang terdiversifikasi. Ada dorongan terkait LCS untuk mengurangi
exposure risiko dari banjir dolar AS itu," kata Fikri.
Baca Juga: SBN Ritel Perdana Tahun Ini Punya Tingkat Kupon di Atas 6%, Menarik Dikoleksi? Pilihan Investasi
Di tengah banjir dolar AS dan gejolak ekonomi yang masih membayangi, pelaku pasar dituntut lebih cermat dalam memilih instrumen investasi. Dalam hal ini, Sutopo menyoroti karakteristik investor menjadi faktor kunci.
Untuk tipe investor moderat, obligasi dan emas bisa jadi pilihan menarik. Sedangkan bagi yang cenderung agresif, saham jadi instrumen prospektif. "Bisa juga mengatur portofolionya, 70:30. 70% yang moderat dan yang 30% ke agresif," saran Sutopo. Sedangkan Nico merekomendasikan instrumen saham dengan fokus koleksi pada saham
big caps yang punya fundamental solid dan valuasi murah. Ditambah dengan prospek bisnis yang apik, misalnya sektor perbankan yang akan menikmati hasil dari kebijakan DHE. "Investasi obligasi juga layak diperhatikan sebagai salah satu instrumen untuk mitigasi risiko volatilitas pasar sembari masih bisa menikmati
gain secara
fixed," tandas Nico. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati