Dolar AS Diperkirakan Tambah Perkasa Hingga Tahun Depan



JAKARTA. Hingga kini, dolar Amerika Serikat (AS) terus menunjukkan gejala penguatan. Bahkan, para ekonom meramal, penguatan dolar AS terhadap mata uang utama dunia akan terus berlangsung hingga pertengahan tahun depan.

Sampai pukul 17:00 WIB hari ini (9/9), satu euro masih setara dengan US$ 1,42. Padahal, pada 21 April lalu nilainya sempat mencapai US$ 1,5912 per euro.

Hal serupa juga terjadi pada mata uang poundsterling. Mata uang Inggris ini terperosok ke US$ 1,77 per poundsterling. Asal tahu saja, pada 17 Juli lalu, nilai tukarnya sempat menguat ke US$ 2,0038 per poundsterling.


Menurut Kepala ekonom PT Bank Danamon Tbk, Anton Gunawan, ada dua hal utama yang menyebabkan penurunan itu. Pertama, penurunan produk komoditas akibat anjloknya harga minyak mentah. Walhasil, para pelaku pasar yang tadinya asyik bermain komoditas, kini beralih ke treasury bond milik pemerintah AS. "Yield treasury bond AS kini cenderung turun, disertai permintaan yang besar," ujarnya.

Faktor kedua adalah pertumbuhan ekonomi AS yang lebih baik dari perkiraan semula. Anton melihat, banyak analis memprediksi Gross Domestic Bruto (GDP) AS tahun 2008 tak melebihi 1%. Nyatanya, data ekonomi terakhir menunjukkan ekonomi AS tumbuh 1,5%.

Dengan kata lain, AS tumbuh lebih baik ketimbang negara Eropa lainnya, termasuk Inggris. Ia memprediksi hingga pertengahan 2009, nilai kurs satu euro akan menjadi US$ 1,30.

Direktur Currency Management Group Farial Anwar menambahkan, euro mungkin saja tergerus ke bawah US$ 1 per euro. "Melihat penguatan dolar AS yang besar, euro tampaknya bakal terus tertekan," ujarnya.

Kata Farial, pasar finansial saat ini lebih bergantung pada sentimen pasar. Sebab secara fundamental maupun teknikal, tak ada hal yang mendukung penguatan dolar AS. Di sisi lain, penguatan euro justru bisa jadi bumerang bagi Eropa. "Ekspor negara-negara Eropa akan lebih melemah," tambahnya.

Ekonom dari Bank BNI Tony Prasetiantono mengamininya. "Neraca perdagangan Eropa saat ini sudah minus. Cadangan devisanya pun sangat terbatas." Menurutnya, para pelaku pasar kembali memburu dolar dengan harapan ekonomi AS membaik pasca Pemilu.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Barratut Taqiyyah Rafie