KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) lanjut menguat terhadap mayoritas mata uang. Indeks dolar AS bahkan mencapai level 107,12 pada Selasa (3/10) yang menjadi level tertinggi sejak September 2022. Berdasarkan data Bloomberg, kurs USD/IDR hari ini menguat 0,32% ke level Rp 15.580 per dolar AS. Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mengatakan, penguatan dolar AS yang terjadi belakangan ini tidak lepas dari prospek suku bunga The Fed yang masih terbuka untuk naik di sisa tahun ini. Kemungkinan ini ditengarai karena masih tingginya inflasi yang perlu diredam melalui kenaikan suku bunga. Ruang kenaikan suku bunga yang masih terbuka ini membuat imbal hasil obligasi pemerintah AS atawa US Treasury (UST) tenor 10 tahun tercatat menguat hingga berada di 4,70% pada awal Oktober ini. Padahal, pada akhir Agustus 2023, imbal hasil UST tenor 10 tahun masih berada di level 4,08%.
Di sisi lain, meski kenaikan suku bunga acuan Federal Reserve berpotensi naik lagi menuju 5,75%, kondisi ekonomi AS masih tetap kokoh. Alhasil, investor melihat, inflasi dan suku bunga acuan yang tinggi tidak membuat ekonomi AS menjadi
hard landing.
Baca Juga: The Fed Masih Hawkish, Penawaran Masuk Lelang SUN Turun Hari Ini (3/10) Lebih lanjut, data ekonomi atau katalis fundamental pun perlahan menunjukkan perbaikan. Kondisi ini semakin menguatkan optimisme pasar bahwa The Fed akan mempertahankan suku bunganya lebih lama di tahun depan dan belum ada tanda-tanda bahwa The Fed akan memangkas suku bunganya. Data PMI Manufaktur ISM AS terakselerasi ke 49,0 di September 2023, tertinggi sejak November 2022 dan naik dari Agustus 2023 yang sebesar 47,6. "Indeks PMI menunjukkan jika ekonomi AS masih kuat sehingga kemungkinan inflasi akan sulit melandai," ucap Nanang saat dihubungi Kontan.co.id, Selasa (3/10). Presiden Komisioner HFX International Berjangka Sutopo Widodo menambahkan, dolar AS lanjut menguat karena anggota parlemen AS mencapai kesepakatan tentatif pada akhir pekan yang akan menjaga pendanaan pemerintah selama 45 hari. Investor saat ini menantikan komentar dari berbagai pejabat The Fed untuk mendapatkan wawasan tambahan mengenai rencana kebijakan bank sentral serta laporan pekerjaan bulanan penting pada Jumat (6/10). Selain itu, pelemahan Yen Jepang juga mendukung dolar AS setelah Bank of Japan (BoJ) mengumumkan pembelian obligasi tambahan. "Aksi ini menjatuhkan Yen Jepang ke level terendah dalam sebelas bulan terhadap dolar AS," ungkap Sutopo.
Baca Juga: Pergerakan Rupiah Bakal Disetir Data Pembukaan Lapangan Kerja AS Nanang memprediksi, rupiah masih akan mengalami tekanan ke depannya. Penguatan dolar AS yang cukup tangguh terhadap rivalitas utama dan mata uang regional khususnya
emerging market semakin menenggelamkan rupiah. Ditambah lagi, investor pun memburu imbal hasil obligasi AS sehingga arus dana keluar turut menekan rupiah. "Ditambah lagi pemenuhan kebutuhan dolar AS jelang akhir tahun untuk pembiayaan kredit dan impor yang berbasis dolar turut mempengaruhinya," kata Nanang.
Nanang memprediksi, rupiah berpotensi melemah menuju Rp 15.630 dan Rp 15.760 atau level pelemahan rupiah yang sempat dicapai November 2022. Untuk hingga akhir tahun 2023, ia melihat rupiah kemungkinan akan berada dalam rentang harga Rp 15.500-Rp 15.800. Sementara perkiraan Sutopo rupiah akan mencapai Rp 15.750 pada akhir 2023. Selain rupiah, mata uang yang tertekan dolar AS adalah Yen Jepang dan dolar Singapura. USD/JPY menguat 0,07% ke 149,97 dan USD/SGD menguat 0,12% ke 1,37000 pada Selasa (3/10). Nanang memprediksi, nilai tukar Yen Jepang terhadap dolar AS pun masih terus menguat dan terancam menduduki kembali JPY 150 per USD. SGD juga berpotensi melemah tengah menuju 1,38000 dan 1,39000 dalam jangka menengah. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Wahyu T.Rahmawati