KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) telah merosot di sepekan terakhir. Dalam kondisi tersebut, beberapa mata uang rival dolar AS telah meningkat signifikan yakni lebih dari 1%. Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin mencermati, pelemahan dolar AS tepatnya terjadi di akhir perdagangan pekan lalu. Hal itu tidak terlepas dari reaksi pelaku pasar yang kecewa terhadap rilis data ketenagakerjaan AS. Data tersebut pun menambah sentimen yang sudah terjadi akibat sikap ragu-ragu para pejabat Federal Reserve (The Fed) terkait suku bunga acuan.
Akhir pekan lalu Jumat (3/11), data Non Farm Payroll terpantau naik 150.000 lapangan kerja di bulan Oktober. Capaian itu sekitar setengah dari 297.000 lapangan kerja yang direvisi turun pada bulan September dan di bawah perkiraan pasar sebesar 180.000. Akibatnya, penurunan dolar memberikan ruang kenaikan bagi beberapa mata uang mayor atau
major currencies seperti Euro (EUR) dan Poundsterling (GBP), diikuti Dolar Australia (AUD) hingga New Zealand Dolar (NZD). Pasangan mata uang EUR/USD telah menguat sekitar 1,12% dalam sepekan. Sejalan, GBP/USD juga naik sekitar 1,33%, AUS/USD naik sekitar 1,39% dan NZD/USD naik sekitar 1,57% secara mingguan, berdasarkan data trading economics pukul 17.21 WIB, Selasa (7/11). r
Baca Juga: Pertumbuhan Ekonomi RI Melemah di Kuartal III, Stimulus Fiskal & Moneter Diperlukan Nanang menyoroti, kenaikan mata uang rival utama dolar AS seperti mata uang Inggris karena keputusan untuk menahan suku bunga pada level 5,25% tanpa meninggalkan tanda perihal pemangkasan. Sehingga asumsi pasar terhadap suku bunga tinggi masih terbuka, yang mendorong poundsterling lebih kuat. Sebaliknya Euro masih dibayangi ancaman pemangkasan suku bunga dari 4,50%, ketika pertemuan terakhir European Central Bank (ECB) menyampaikan ruang kenaikan sudah tertutup. Penguatan euro ditopang oleh melemahnya dolar dan imbal hasil obligasi AS. Dolar Australia dan Selandia Baru juga telah menguat selama beberapa hari terakhir. AUD menyentuh level tertinggi dalam 3 bulan di hari Senin (6/11), ketika reaksi pembelian dilakukan investor pasca data NFP Amerika yang mengecewakan. Hanya saja, Nanang berujar, dolar AS masih begitu tangguh untuk ditaklukkan.
The Greenback perlahan kembali menuju jalur penguatan di tengah meningkatnya ekspektasi bahwa Federal Reserve akan menaikkan suku bunganya. “Pernyataan para pejabat bank sentral AS menjadi fokus minggu ini untuk mendapatkan sinyal lebih lanjut mengenai kebijakan suku bunga,” jelas Nanang kepada Kontan.co.id, Selasa (7/11).
Baca Juga: Tertekan, Rupiah Spot Ditutup Melemah ke Rp 15.636 Per Dolar AS Pada Hari Ini (7/11) Ketua The Fed Jerome Powell akan menyampaikan pidatonya pada hari Rabu (8/11) dan Kamis (9/11) pekan ini. Pasar menunggu sinyal Powell tersebut, apakah dia masih mempertahankan nada
dovish yang disampaikan setelah pertemuan The Fed pekan lalu. Komentar dari pejabat The Fed lainnya juga akan dievaluasi. Walaupun demikian, menurut Nanang, pandangan Jerome Powell terhadap suku bunga nampaknya tidak banyak disetujui. Hal itu mengacu pada Komite Pasar Terbuka Federal (FOMC) yang menetapkan kebijakan The Fed. “Jadi saya menduga kita akan mulai melihat perbedaan antara sikap
dovish dan
hawkish di FOMC,” tuturnya. Jerome Powell mengatakan adanya ruang kenaikan suku bunga pada pertemuan ke depan, namun mulai memburuknya data Amerika telah memberi sinyal ancaman perlambatan. Hal itu terlihat dari angka ISM Manufacturing PMI yang masih merosot ke 46 poin indeks dari sebelumnya 49 poin indeks. Nanang memperkirakan dolar AS masih akan tetap menguat terhadap rivalitas seperti penguatan terhadap Euro pada Senin (6/11) karena masih terbukanya potensi kenaikan suku bunga The Fed. Ancaman terhadap EUR/USD berpotensi kembali melemah dengan berada di bawah US$ 1.0450, tepatnya di US$1.0360. Penurunan GBP/USD bahkan diprediksi lebih dalam seiring data ekonomi belum menunjukkan perbaikan, terlebih lagi pertumbuhan ekonomi yang dirilis pekan ini diproyeksi melambat. GBP/USD terancam turun di bawah harga US$ 1.2000 dengan menuju US$ 1.1800.
Baca Juga: Lesu, Rupiah Jisdor Melemah ke Rp 15.593 Per Dolar AS Pada Selasa (7/11) Nanang melanjutkan, AUD/USD juga mengalami tekanan yang sama dari The Fed, ketika suku bunga Australia saat ini pun berada pada 4,35% atau merupakan level tertinggi sejak Januari 2011. Sekaligus ini merupakan kenaikan dalam 13 kalinya sejak Mei 2022, karena ancaman inflasi.
Hari ini, reaksi pasar terbalik melemah terhadap dolar Australia ketika RBA (Bank Sentral Australia) menaikkan suku bunga pada 4,35% dari 4,10%. Kenaikan rate ini mengakhiri kebijakan stabil selama 4 bulan, namun RBA mengubah pernyataannya mengenai prospek suku bunga yang sudah mencapai fase puncaknya. AUD/USD diperkirakan akan tertekan di pengujung dan awal tahun menuju US$0.6270. Sementara itu, Nanang menambahkan, nasib yang sama juga akan dialami NZD/USD dengan potensi tertekan hingga US$ 0.5640. Tekanan mata uang New Zealand seiring dengan prospek kenaikan suku bunga AS masih terbuka dan bertahan dengan suku bunga tinggi, yang dikombinasikan masih kokohnya data ekonomi Amerika Serikat. Cek Berita dan Artikel yang lain di
Google News Editor: Anna Suci Perwitasari