Dolar AS Sulit Ditaklukkan Mata Uang Utama Saat Kepemimpinan Trump



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dolar Amerika Serikat (AS) bakal sulit ditaklukkan oleh mata uang utama. Pemangkasan suku bunga lebih lambat ditambah kebijakan proteksionisme Trump menjadi penyokong bagi the greenback.

Analis Doo Financial Futures Lukman Leong mengatakan, sikap hawkish Federal Reserve alias The Fed merupakan katalis positif bagi dolar AS. Keputusan bank sentral AS akan selalu memperhatikan kondisi di sektor tenaga kerja dan perekonomian yang saat ini masih kuat.

Data produk domestik bruto (PDB) AS revisi final sebelumnya menunjukkan resiliensi ekonomi negeri Paman Sam tersebut yang tumbuh 3,1% dibandingkan perkiraan 2,8%. Tingkat inflasi pun masih jauh dari target penurunan di bawah 2% yang terlihat dari inflasi inti PCE sebesar 2,8% YoY, inflasi utama di 2,7%, serta inflasi inti di level 3,3%.


Data terbaru dari Departemen Perdagangan AS menunjukkan indeks harga pengeluaran konsumsi pribadi (PCE), indikator inflasi favorit The Fed, naik 0,1% pada November, lebih rendah dari kenaikan 0,2% pada Oktober. Secara tahunan, indeks PCE naik 2,4% pada November, sedikit meningkat dibandingkan 2,3% pada bulan sebelumnya.

Baca Juga: Donald Trump Tunjuk Mantan Pemain Sepak Bola Ini Pimpin Dewan Kripto

Lukman berujar, sebenarnya inflasi PCE AS yang melambat di akhir pekan lalu membuka harapan sebagai langkah awal The Fed memangkas suku bunga. Namun memang masih diperlukan rentetan data yang lebih lemah ke depannya untuk The Fed bersikap dovish.

‘’Kondisi ataupun sikap the Fed dan data-data ekonomi saat ini belum memperhitungkan faktor kebijakan proteksionisme Trump yang dimana berpotensi besar mengangkat kembali inflasi di AS maupun global,’’ kata Lukman kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Lukman menambahkan, tingkat suku bunga bank sentral berperan besar terhadap pergerakan mata uang negara tersebut. Apalagi jika mata uang antara kedua negara memiliki selisih tingkat suku bunga dan pertumbuhan ekonomi.

Dalam kaitan persaingan dolar AS dengan mata uang utama seperti EUR ataupun GBP, pertumbuhan ekonomi AS saat ini jauh di atas Eropa dan Inggris. Prospek suku bunga The Fed juga diperkirakan dipangkas lebih sedikit daripada bank sentral utama lainnya.

Baca Juga: Rupiah Berpotensi Menguat Jelang Libur Natal, Simak Sentimen Pendorongnya

Di tahun 2025, suku bunga the Fed diperkirakan akan berkisar 3,75%-4%, Bank Sentral Eropa (ECB) di 2%-2,5%, Bank Sentral Inggris (BoE) di 3,75%. Namun walaupun tingkat suku bunga Inggris tinggi seiring inflasi yang masih tinggi, ekonomi Inggris tidak tumbuh sama sekali.

‘’Dolar AS sebagai aset lindung nilai (safe haven) juga bisa saja menguat saat terjadi konflik geopolitik dan perang. Meskipun dampaknya mungkin tidak begitu signifikan,’’ sebut Lukman.

Lukman memandang, satu-satunya bank sentral yang berpotensi menaikkan suku bunga adalah Bank Sentral Jepang (BoJ). Akan tetapi, langkah pengetatan BoJ semata hanya bertujuan menahan pelemahan yen.

Yen Jepang (JPY) mungkin tidak akan menguat signifikan karena selisih (spread) suku bunga BoJ dengan mata uang utama dunia lainnya masih sangat jauh. Namun trader bisa memanfaatkan kondisi pergerakan tersebut untuk swing trade seiring JPY berpotensi menguat saat suku bunga acuan dikerek.

Baca Juga: Harga Emas Naik pada Senin (23/12) Disokong Data Inflasi AS

Lukman memperkirakan, Yen bisa menguat ke level 140 di tahun depan. Sedangkan, proyeksi mata uang utama lainnya seperti EURUSD di level 1,0000, GBPUSD di level 1,1800-1,2000, serta AUDUSD di level 0,5800-0,6000.

Mengutip Trading Economics, Senin (23/12), pukul 18.45 WIB, sejumlah mata uang utama tampak melemah terhadap dolar AS. EURUSD sebagai rival dolar AS turun sekitar 1,17% dalam sepekan ke 1,03919. GPBUSD turun sekitar 1,19% dalam sepekan ke 1,25311.

Sementara itu, Dolar Australia (AUD) terpantau menguat 1,98% sepekan ke level 0,6245 karena investor masih menunggu keputusan bank sentral Australia (RBA) di hari Selasa. Swiss Franc (CHF) bergerak datar 0,28% sepekan ke level 0,8973. Sedangkan, JPY melemah 1,77% dalam sepekan terhadap dolar AS ke level 156,832.

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin menyebutkan, prospek pemangkasan suku bunga The Fed yang lebih lambat dapat membatasi ruang penguatan mata uang utama. Dolar AS juga akan tetap menarik sebagai safe haven selama ketidakpastian geopolitik berlangsung.

Nanang menilai, peluang penguatan mata uang rival dolar AS yakni berharap dari divergensi kebijakan moneter. Ketika bank sentral lain mempertahakan suku bunga yang lebih tinggi dibandingkan The Fed, maka mata uang negara tersebut bisa menjadi lebih menarik.

Baca Juga: Kompak, Rupiah Jisdor Menguat 0,68% ke Rp 16.159 Per Dolar AS pada Senin (23/12)

Hanya saja, kondisi suku bunga bank sentral AS saat ini masih lebih unggul dibandingkan bank sentral utama lainnya. Dengan demikian, dolar kemungkinan dalam jangka pendek dan menengah masih bisa mengalami akselerasi.

‘’Pemangkasan suku bunga yang lebih besar di negara-negara dengan mata uang utama seperti Zona Euro (ECB), Jepang (BoJ), atau Inggris (BoE) dibandingkan dengan Fed cenderung melemahkan mata uang tersebut terhadap dolar AS,’’ kata Nanang kepada Kontan.co.id, Senin (23/12).

Sementara itu, Nanang melilhat, pertumbuhan ekonomi yang lebih kuat seperti di Eropa memang dapat mendukung penguatan mata uangnya. Tetapi prospek mata uang Euro masih akan melemah apabila kebijakan suku bunga acuan tetap dovish.

‘’Kepercayaan pasar meningkat jika pertumbuhan ekonomi yang stabil, disertai pengurangan ketegangan geopolitik atau fiskal di kawasan Eropa yang dapat meningkatkan daya tarik euro. Namun, jika Fed tidak agresif dalam memangkas suku bunga dan ekonomi AS tetap kuat, maka dolar dapat mempertahankan posisinya sebagai mata uang dominan,’’ imbuh dia.

Baca Juga: Trump Mengajukan Cadangan Bitcoin Senilai US$280 Triliun untuk Selamatkan Dolar AS

Nanang menuturkan, prospek mata uang utama akan tergantung pada faktor domestik seperti inflasi, pertumbuhan ekonomi, dan kebijakan bank sentral masing-masing negara. Secara umum mata uang utama sulit untuk mengalahkan dolar, namun kondisi persaingan nilai tukar bisa saja berbalik, jika ekonomi negara tersebut tumbuh signifikan dan suku bunga masih tinggi.

Jika ECB bersikap hawkish dan pertumbuhan ekonomi mendukung di tahun depan, maka EURUSD diperkirakan stabil atau menguat ke level 1,1000- 1,1500. Pasangan mata uang GBPUSD juga berpotensi naik menuju 1,3000-1,3500, jika Inggris menunjukkan stabilitas fiskal dan pertumbuhan ekonomi.

Sedangkan, Nanang memproyeksi, USDCHF bisa bergerak stabil di sekitar 0,90000-0,9200, jika ketegangan geopolitik tetap tinggi yang menguntungkan mata uang Swiss sebagai safe haven. USDJPY bisa menuju ke level bawah 135-140, jika permintaan safe haven JPY meningkat ditambah adanya potensi langkah agresif BoJ mengerek suku bunga.

Selanjutnya: PPN 12% Bikin Pengimpunan DPK Perbankan di Tahun Depan Semakin Berat

Menarik Dibaca: Toyota Yaris Cross HEV Meraih Penghargaan Most Worthy Car di Uzone Choice Award 2024

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati