Dolar Australia Berpotensi Menguat di Tengah Potensi Kenaikan Suku Bunga & Perang



KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Dolar Australia (AUD) layak dipantau di tengah ketangguhan dolar Amerika Serikat (AS) terhadap sekeranjang mata uang utama. AUD bakal meningkat karena bank sentral berpotensi mengerek suku bunga acuan dan permintaan AUD diperkirakan melonjak sebagai mata uang komoditas.

Seperti diketahui, pekan lalu, dolar menguat karena data ekonomi AS yang kuat mengurangi sentimen penurunan suku bunga. Risalah rapat The Fed terbaru juga menunjukkan beberapa pejabat bersedia memperketat kebijakan lebih lanjut jika inflasi kembali melonjak.

Analyst PT Finex Bisnis Solusi Future Brahmantya Himawan mengamati bahwa mata uang Australia cukup menarik saat tangguhnya dolar AS saat ini. Hal itu karena tingkat inflasi di Negeri Kanguru itu telah menjadi sangat tinggi.


Inflasi Australia pada kuartal pertama tahun 2024 naik menjadi 1,0% dari 0,6% pada kuartal sebelumnya, melebihi ekspektasi pasar sebesar 0,8%.

Tingkat inflasi bulanan Australia rata-rata sebesar 1,20% dari tahun 1950 hingga 2024, mencapai angka tertinggi sepanjang masa sebesar 7,55% pada kuartal keempat tahun 1951 dan titik terendah sepanjang masa deflasi 1,90% pada kuartal II-2020.

Baca Juga: Masih Disetir Eksternal, Rupiah Diperkirakan Lanjut Melemah Pada Selasa (28/5)

Sehingga, Reserve Bank of Australia (RBA) terpaksa mempertimbangkan untuk menaikkan suku bunga pada pertemuan dewan terakhirnya.

Menurut Bram, kenaikan suku bunga itu berpotensi mendorong penguatan dolar Australia (AUD) ditambah Geopolitik Laut China selatan berpotensi memanas yang akan mendukung potensi safe haven emas dan menyokong penguatan AUD karena Australia memiliki sektor tambang yang besar.

China ditengarai dalam waktu dekat bersiap melakukan Invasi terhadap Taiwan setelah penunjukan Lai Ching de sebagai presiden baru Taiwan. Meningkatnya ketegangan setelah penunjukan Lai Ching-de sebagai presiden baru Taiwan dapat meningkatkan permintaan perak sebagai aset safe-haven.

China telah mengerahkan sejumlah besar jet tempur dan melakukan simulasi serangan di Selat Taiwan dan di sekitar rangkaian pulau yang dikuasai Taiwan pada minggu lalu.

“Ketegangan geopolitik sering kali menimbulkan ketidakpastian dan penghindaran risiko, yang biasanya mendorong investor memilih logam mulia seperti emas,” tutur Bram kepada Kontan.co.id, Senin (27/5).

Sementara itu, Bram menilai, nilai tukar rupiah terhadap dolar AS pada Awal minggu ini berpotensi menguat, meski masih di kisaran harga psikologis Rp.16.000 per dolar AS. Rupiah saat ini berpotensi berada pada kisaran rentang harga Rp 15.900 per dolar AS – Rp 16.150 per dolar AS.

Potensi penguatan rupiah tersebut karena rilisan Angka Consumer Price Index (CPI) di AS turun menjadi 0,3% bulan ke bulan pada bulan April 2024, sedikit kurang dari 0,4% pada dua bulan sebelumnya, dan di bawah perkiraan sebesar 0,4%.

Baca Juga: Paling Lemah di Asia, Rupiah Spot Ditutup ke Rp 16.076 Per Dolar AS di Senin (27/5)

“Ini memberi isyarat bahwa Inflasi masih dalam laju penurunan dan adanya potensi pemangkasan suku bunga di akhir tahun 2024 hingga awal 2025,” jelas Bram.

Selain itu, penguatan rupiah terjadi juga karena Bank Indonesia (BI) memutuskan untuk mempertahankan suku bunga acuan di level 6,25% pada Rapat Dewan Gubernur periode 21-22 Mei 2024 lalu.

“Kebijakan suku bunga ini untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah dari dampak memburuknya risiko global ditambah keadaan geopolitik yang masih carut marut,” tambahnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Anna Suci Perwitasari