Dollar perkasa, kurva yield obligasi Indonesia, India, dan Australia kompak mendatar



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Instrumen obligasi domestik negara-negara seperti India, Australia, dan Indonesia tampaknya tengah mengalami pergerakan kurva imbal hasil (yield curve) yang merata. Kondisi ini menunjukkan tekanan terhadap pasar obligasi masih kuat di tengah pengetatan likuditas mata uang dollar Amerika Serikat (AS).

Merespon pelemahan kurs rupiah, Bank Indonesia (BI) telah mengerek suku bunga acuan demi membendung pelemahan rupiah, terutama di tengah gejolak pasar akibat tensi perang dagang AS-China yang meningkat saat ini. Begitu juga dengan India yang menaikkan suku bunga acuannya untuk pertama kali sejak 2014 pada bulan lalu.

Kendati demikian, Bloomberg melansir, Jumat (13/7), Aberdeen Standard Investments memproyeksi, kurva imbal hasil obligasi Indonesia maupun India masih akan tetap datar hingga akhir tahun nanti. Sama halnya dengan Australia seiring dengan kenaikan yield US Treasury yang mendorong biaya pinjaman jangka panjang negara (cost of borrowing) lebih tinggi.


Spread antara yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor dua tahun dan sepuluh tahun tampak merosot sebanyak 9 basis poin (bps) dalam pekan ini, penurunan tertajam dalam kurun dua tahun. Padahal, BI telah menaikkan suku bunga acuan hingga 1% dalam waktu kurang dari dua bulan pasca rupiah terpental ke posisi terlemahnya sejak Oktober 2015.

"Kemungkinan besar, (kurva yield) akan tetap relatif datar untuk saat ini," ujar Kenneth Akintewe, Kepala Utang Negara Asia di Aberdeen Standard Singapura mengenai kurva imbal hasil Indonesia, seperti dikutip Bloomberg.

"Jika ada tekanan terus-menerus pada mata uang, kemungkinan besar mereka (Bank Indonesia) akan dipaksa melakukan setidaknya satu atau dua kenaikan lagi," tambahnya.

Akintewe juga mengatakan, begitu sentimen terhadap pasar negara berkembang membaik dan rupiah mulai menguat, para investor akan kembali pasar obligasi, terutama lantaran valuasi sudah menjadi sangat menarik. Ia berharap dengan begitu kurva imbal hasil obligasi Indonesia bisa kembali melengkung. Namun ia melihat belum akan terjadi dalam waktu dekat.

Sementara di India, spread yield antara obligasi pemerintah bertenor dua tahun dan sepuluh tahunnya telah mencapai 25 bps, turun dari level 81 pada Desember lalu. Yield jangka pendek telah meningkat lebih banyak untuk mengantisipasi kebijakan pengetatan moneter yang didukung oleh melambungnya harga minyak mentah sehingga inflasi terjadi lebih cepat.

Untuk itu Bank Sentral India mengerek suku bunga acuannya pada awal Juni dan memasang posisi bersiap untuk memasuki siklus pengetatan moneter secara bertahap. Keputusan pemerintah India untuk meminjam lebih sedikit dari pasar utang pada paruh pertama tahun fiskal April-Maret juga turut membantu memperlambat kenaikan yield obligasi benchmark 10 tahunnya.

"Tahun ini, pasokan obligasi sudah kembali," kata Vivek Rajpal, Ahli Strategi Harga di Nomura Holdings Inc. Singapura. Hal ini menunjukkan penerbitan yang lebih besar pada semester kedua diperkirakan akan memperkeruh kurva. Ia menambahkan, “Saat kita bergerak menuju paruh kedua, kekhawatiran fiskal mungkin mulai membebani pasar.”

Adapun di Australia, pengetatan pendanaan sejak awal tahun ini menyebabkan biaya pinjaman jangka pendek bagi bank-bank lokal melonjak, yang pada gilirannya memiliki efek spillover pada ujung depan kurva obligasi. Spread yield obligasi Australia yang bertenor tiga tahun dan sepuluh tahun telah menyempit menjadi 57 bps dari posisi 79 pada bulan Februari.

Sepanjang paruh pertama tahun ini, suku bunga Bank Australia (bank-bill swap rate) bertenor tiga bulan juga melonjak paling tinggi dalam delapan tahun. Faktor struktural, seperti penurunan pertumbuhan deposito di bank domestik pada saat permintaan kredit stabil, menunjukkan bahwa suku bunga pasar uang akan terus meningkat, menurut TD Securities.

"Perkembangan dalam tingkat pendanaan jangka pendek secara langsung mempengaruhi prospek kurva imbal hasil di Australia," kata Tamar Hamlyn, Kepala Ardea Investment Management yang berbasis di Sydney dan mengelola dana A$ 10 miliar. Menurut dia, yield obligasi jangka pendek saat ini bergerak lebih tinggi dan dengan demikian menciptakan tekanan pada kurva sehingga menjadi rata (flattening).

Senada, Grant Samuel Funds Management juga berpendapat, selama pemulihan ekonomi AS berlanjut dan yield US treasury terus meningkat, itu akan memberi dampak pada kurva imbal hasil Aussie," katanya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Wahyu T.Rahmawati