Dominasi asing di SUN naikkan risiko Indonesia



JAKARTA. Dominasi para pemodal asing di pasar keuangan Indonesia sudah menjadi rahasia umum. Maka itu, setiap kali ada guncangan sentimen negatif di pasar global, pasar keuangan Indonesia ikut goyah karena pemodal asingnya bereaksi. Hal ini membuat pasar kerap begitu tajam fluktuasinya.Kenglin Tan, Senior Portofolio Manager Manulife Investment Management Hong Kong yang juga menjabat sebagai Managing Director Asia Pacific Equities Manulife Asset Management Hong Kong, menyoroti hal ini sebagai salah satu risiko berinvestasi di Indonesia. "Kepemilikan modal asing di obligasi pemerintah Indonesia sangat besar, dan porsinya tertinggi jika dibandingkan kepemilikan asing di obligasi pemerintah negara-negara Asia Tenggara lainnya," ujar Kenglin dalam pertemuan terbatas dengan awak media di Jakarta, Kamis (24/5).Mengutip data Kementerian Keuangan RI, per 21 Mei 2012, kepemilikan investor asing di Surat Berharga Negara (SBN) atau juga disebut Surat Utang Negara (SUN) mencapai Rp 225,65 triliun. Angka tersebut mencapai 28,9% dari total SBN yang bisa diperdagangkan di pasar senilai Rp 780,72 triliun. "Bandingkan dengan Malaysia atau Thailand yang obligasi negaranya banyak dipegang oleh investor lokal," ujarnya.Besarnya kepemilikan asing di surat berharga negara berisiko membuat nilai tukar rupiah tidak stabil. Jamak terjadi, ketika investor asing melepas kepemilikannya karena terdorong aksi rebalancing portofolio, atau profit taking menyusul sentimen global, nilai tukar dollar AS ke rupiah menjadi melonjak naik. Penjualan SUN oleh asing membuat permintaan dollar AS di pasar meningkat, otomatis rupiah menjadi tertekan. Jika terjadi tidak dalam jumlah besar, risiko ini boleh jadi tidak terlalu besar. Namun, jika terjadi pelepasan SBN oleh asing secara serempak, rupiah bisa langsung tersungkur. "Besarnya kepemilikan asing di SBN berisiko memicu liquidity crunch, membuat rupiah tidak stabil," kata Kenglin.

Untuk meminimalisir risiko tersebut, menurut Kenglin, penetrasi investor lokal di instrumen keuangan perlu diperbesar. Caranya, bisa masuk lewat pasar perdana atau di pasar sekunder. Baik memburu obligasinya langsung atau melalui produk turunan seperti reksadana berbasis obligasi. Putut Andanawarih, Direktur Manulife Asset Management Indonesia, menambahkan, minat investasi para pemilik dana lokal sejatinya mulai besar untuk instrumen-instrumen keuangan, termasuk obligasi. "Lihat saja penerbitan Obligasi Ritel Indonesia (ORI) yang selalu banjir pembeli alias oversubscribed, ini menjadi indikasi banyak likuiditas di luar sana yang membutuhkan penyaluran instrumen," ujarnya.

Dengan potensi pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi disokong besarnya tingkat konsumsi domestik, dominasi asing di instrumen pasar keuangan bisa digeser perlahan. "Usia produktif di sini jumlahnya besar, begitu juga tingkat kemakmuran yang terus naik," kata Kenglin.


Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News

Editor: Ruisa Khoiriyah