KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Mimpi Amerika sering kali dipandang sebagai pilar utama dalam membentuk identitas nasional Amerika Serikat. Dengan janji "kesempatan yang setara untuk semua," konsep ini menjadi simbol aspirasi dan harapan bagi generasi yang mencari kemakmuran. Namun, saat ini, banyak yang mulai meragukan apakah mimpi tersebut masih bisa dicapai. Donald Trump, dalam kampanye politiknya, berjanji akan "membangkitkan kembali mimpi Amerika menjadi lebih besar, lebih baik, dan lebih kuat dari sebelumnya." Namun, realitanya, definisi dari mimpi tersebut semakin kabur, dan semakin banyak orang merasa bahwa mimpi ini semakin jauh dari jangkauan.
Mimpi Amerika dalam Perspektif Modern
Meskipun generasi sebelumnya mengidentifikasi mimpi Amerika dengan kepemilikan rumah, kemandirian finansial, dan kesuksesan pribadi, gambaran ini mengalami pergeseran. Saat ini, masyarakat menjadi semakin skeptis terhadap kemampuan mereka untuk mencapai tujuan yang diidentifikasi oleh generasi sebelumnya.
Baca Juga: Kebijakan Trump Terkait Deportasi Imigran: Ancaman bagi Komunitas Venezuela di Aurora Survei yang dilakukan oleh Archbridge Institute menunjukkan bahwa pada tahun 2024, pesimisme terhadap pencapaian mimpi Amerika mencapai titik tertinggi. Gonzalo Schwartz, seorang peneliti di institut tersebut, menyebutkan bahwa narasi tentang hilangnya mimpi Amerika telah memicu fenomena yang disebut sebagai "ramalan yang terpenuhi dengan sendirinya." Dengan semakin banyak orang yang merasa bahwa mimpi tersebut tak lagi bisa dicapai, harapan mereka memudar, yang pada gilirannya memengaruhi keinginan untuk berpartisipasi dalam ekonomi. Jamie Dimon, CEO JPMorgan, menyatakan bahwa simbol harapan yang pernah menginspirasi tenaga kerja Amerika semakin memudar. Dengan inflasi yang melambat namun upah yang stagnan, masyarakat merasakan bahwa kondisi ekonomi mereka semakin memburuk dari bulan ke bulan. Pasar perumahan yang semakin tidak terjangkau juga menambah beban, di mana bahkan menyewa rumah kini menjadi lebih sulit karena inflasi sewa yang terus meningkat.
Dampak Hilangnya Mimpi Amerika pada Ekonomi
Profesor Henrietta Moore, Direktur Institut untuk Kemakmuran Global di University College London, menjelaskan bahwa hilangnya mimpi Amerika dapat berdampak buruk bagi perekonomian. "Ekonomi pada dasarnya dibangun di atas keterlibatan," katanya.
Baca Juga: Donald Trump dan Kamala Harris Terkunci dalam Persaingan Ketat Pemilu Presiden AS Mimpi Amerika—atau gagasan bahwa individu dapat mencapai kemakmuran jika mereka berpartisipasi dalam ekonomi—telah lama menjadi pengikat tenaga kerja. Tanpa adanya keterlibatan ini, friksi akan muncul, yang pada akhirnya dapat menurunkan produktivitas dan menciptakan kelompok pekerja yang tidak aktif. Moore juga menyoroti masalah yang timbul akibat polarisasi politik. "Jika ada pemikiran disosiatif tentang orang lain, di mana Anda hanya berinteraksi dengan orang-orang yang sepemikiran, Anda mengurangi kemampuan untuk bersatu dan melakukan sesuatu." Di dalam ekonomi, penting bagi masyarakat untuk bekerja menuju tujuan yang sama. Jika individu hanya mementingkan kepentingan pribadi tanpa memperhitungkan orang lain, ini akan berdampak negatif pada produktivitas secara keseluruhan.
Perubahan Definisi Mimpi Amerika
Definisi mimpi Amerika selalu terbuka untuk interpretasi. Dalam beberapa dekade terakhir, gagasan bahwa siapa saja dapat sukses jika diberi kesempatan terus menjadi narasi yang dominan. Namun, hasil survei Pew Research menunjukkan adanya perbedaan pandangan berdasarkan usia dan latar belakang ekonomi. Pew mencatat bahwa generasi yang lebih tua, terutama mereka yang berusia 65 tahun ke atas, cenderung lebih percaya bahwa mimpi Amerika masih mungkin dicapai, dengan 68% responden menyatakan bahwa mimpi tersebut masih realistis.
Baca Juga: Kamala Harris Bakal Bentuk Dewan Penasehat Bipartisan Jika Menang Pilpres AS Sebaliknya, generasi muda yang berusia antara 18 hingga 29 tahun menunjukkan sikap yang jauh lebih pesimistis, dengan hanya 39% yang percaya bahwa mimpi Amerika masih bisa dicapai. Generasi ini merasa bahwa tujuan tradisional seperti kepemilikan rumah dan kemandirian finansial semakin sulit dicapai. Penelitian yang dilakukan oleh Kristin Scott, Juan Meng, dan Ann Kuzma dari Minnesota State University menemukan bahwa generasi Boomer lebih cenderung melihat mimpi Amerika sebagai relevan, sementara beberapa kaum milenial menambahkan aspek-aspek baru seperti keberlanjutan dan kepedulian terhadap lingkungan dalam definisi mereka tentang kesuksesan.
Mimpi Amerika bagi Generasi yang Membutuhkannya
Profesor Moore menekankan bahwa nilai-nilai baru dari mimpi Amerika harus dapat diakses oleh banyak orang, bukan hanya segelintir elit. Dia mengutip laporan dari Congressional Budget Office (CBO) yang menunjukkan bahwa selama 30 tahun terakhir, keluarga di 50% terbawah spektrum kekayaan Amerika hanya memegang 6% dari aset nasional. Hal ini menunjukkan kesenjangan yang sangat besar dalam distribusi kekayaan, di mana sebagian besar masyarakat merasa terpinggirkan dari pencapaian mimpi tersebut.
Moore juga mencatat bahwa agenda pekerjaan hijau yang diusung oleh Presiden Joe Biden serta Undang-Undang Pengurangan Inflasi mencoba untuk menangani masalah ini.
Baca Juga: Elon Musk Pamerkan Tesla Cybercab, Harga di Bawah US$30.000 dan Produksi Tahun 2026 Namun, ia memperingatkan bahwa masyarakat yang terjebak dalam kemiskinan, terutama anak-anak yang tidak diberi makan dengan baik dan tumbuh dalam kondisi yang kurang mendukung, akan mengalami hambatan dalam perkembangan kognitif mereka. Jika perkembangan ini terganggu, mereka cenderung tidak berprestasi di sekolah, yang kemudian meningkatkan risiko putus sekolah. Dampak jangka panjangnya adalah peningkatan biaya sosial yang terus bertambah dari waktu ke waktu.
Editor: Handoyo .