Donald Trump Gunakan Retorika Rasis untuk Menyerang Kamala Harris



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pada sebuah acara yang diselenggarakan Selasa lalu, Donald Trump, calon presiden dari Partai Republik, menggunakan stereotip rasis untuk menyerang Wakil Presiden Kamala Harris.

Acara ini, yang semula dimaksudkan untuk menyoroti dukungan Trump di kalangan pemilih Latino, malah berubah menjadi forum di mana Trump mengeluarkan pernyataan kontroversial yang menyerang Harris dengan nada rasis dan gender.

Serangan Terhadap Kamala Harris

Trump menyebut Harris "malas" dan menuduhnya tidak bekerja keras selama kampanye. Pernyataan ini dibuat saat Harris berada di Washington menjalankan tugas pemerintah, setelah sehari sebelumnya melakukan kampanye di tiga negara bagian penting.


“Dia malas sekali, dan dia memang terkenal malas,” ujar Trump, mengacu pada Harris.

Baca Juga: Survei Capres AS: Donald Trump Lebih Disukai Pemilih Keturunan Arab

Ini adalah bagian dari serangkaian komentar yang mencoba merendahkan kompetensi Harris sebagai wakil presiden berdasarkan ras dan gendernya.

Banyak analis politik berpendapat bahwa ini adalah taktik Trump untuk mendiskreditkan Harris dengan memanfaatkan stereotip lama tentang wanita kulit hitam yang dianggap tidak memenuhi standar pekerjaan yang biasanya dipegang oleh pria kulit putih.

Rachel Noerdlinger, seorang ahli komunikasi dari Partai Demokrat, mengatakan bahwa retorika Trump mencoba untuk memperkuat anggapan bahwa perempuan kulit hitam seperti Harris tidak layak untuk jabatan tinggi.

Klaim Kekuasaan Ekstrem

Selama acara tersebut, Trump juga membuat pernyataan yang mengkhawatirkan tentang keinginannya untuk menggunakan kekuasaan presiden dengan cara yang ekstrem.

Dia menyatakan bahwa sebagai presiden, ia memiliki kemampuan untuk menutup perbatasan AS-Meksiko hanya dengan keputusan eksekutif, tanpa memerlukan undang-undang tambahan atau persetujuan dari Kongres.

Baca Juga: Insentif US$1 Juta dari Elon Musk untuk Pemilih di Pemilu AS Memicu Kontroversi

"Sebagai presiden, Anda punya kekuatan ekstrem," klaim Trump, menambahkan bahwa ia bisa menutup perbatasan dengan mudah.

Pernyataan ini menimbulkan kekhawatiran tentang potensi autoritarianisme dalam pemerintahan Trump jika dia terpilih kembali. Trump telah beberapa kali berbicara tentang keinginannya untuk memerintah seperti seorang "diktator" di hari pertamanya sebagai presiden.

Meskipun ia kemudian mengatakan bahwa pernyataan tersebut hanya bercanda, banyak pihak yang tetap khawatir dengan kecenderungan autoriternya.

Serangan yang Terus Berlanjut

Trump terus melanjutkan serangannya terhadap Harris di acara lain yang digelar malam harinya di Greensboro, North Carolina. Ia menuduh Harris "tidak bekerja" dan secara salah mengatakan bahwa Harris menghabiskan hari dengan tidur. Trump juga menyerang identitas Harris dan menyebutnya sebagai "radikal sayap kiri yang tidak pantas mencalonkan diri".

Selama acara tersebut, Trump didampingi oleh tokoh-tokoh Latino, termasuk CEO Goya Foods, Bob Unanue. Unanue juga ikut menyerang Harris dan secara tidak hormat memelesetkan namanya menjadi "Que Mala," yang dalam bahasa Spanyol berarti "sangat buruk". Banyak hadirin yang tertawa dan ikut mengejek dengan menyebut Harris sebagai "Que mala Kamala."

Baca Juga: Harris dan Trump Bertarung di Arena Pertarungan 2 Minggu Menuju Hari Pemilu AS

Kekhawatiran Tentang Otoritarianisme Trump

Kampanye Harris merespons dengan menyatakan bahwa pandangan Trump yang ingin menggunakan kekuasaan ekstrem adalah ancaman bagi demokrasi.

Matt Corridoni, juru bicara Harris, mengatakan bahwa Trump ingin menghapus pegawai negeri yang tidak loyal padanya dan menggantinya dengan orang-orang yang akan mendukung ambisinya untuk mengejar kekuasaan tanpa batas.

Trump berulang kali menggunakan istilah "musuh dari dalam" untuk menggambarkan lawan politiknya, terutama dari Partai Demokrat, termasuk tokoh-tokoh seperti Nancy Pelosi dan Adam Schiff. Pada acara tersebut, Trump bahkan mengaitkan istilah tersebut dengan insiden kebocoran rencana pertempuran Israel yang tengah diselidiki oleh FBI.

Editor: Handoyo .