Donald Trump Memicu Kontroversi dengan Seruan Militer untuk Menghadapi Lawan Politik



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Donald Trump kembali memicu kemarahan dari pihak Demokrat setelah menyerukan penggunaan angkatan bersenjata Amerika Serikat untuk menghadapi lawan politiknya menjelang pemilihan presiden yang akan berlangsung bulan depan.

Pernyataan Trump ini memperkuat kekhawatiran akan potensi tindakan otoriter jika mantan presiden ini berhasil kembali ke Gedung Putih.

Dalam wawancara dengan Fox News, Trump menyatakan bahwa militer atau penjaga nasional harus dikerahkan untuk melawan pihak yang ia sebut sebagai “musuh dari dalam” saat pemilihan berlangsung pada 5 November.


Salah satu yang menjadi sasaran serangan verbal Trump adalah anggota Kongres dari California, Adam Schiff, yang pernah memimpin dakwaan dalam proses pemakzulan pertamanya.

Baca Juga: Jajak Pendapat Trump Vs Harris 2024: Harris Naik 2 Poin Dalam Survei Terbaru

Tuduhan Trump terhadap Adam Schiff

Trump menganggap Schiff sebagai ancaman yang lebih besar terhadap pemilihan yang bebas dan adil dibandingkan dengan teroris asing atau imigran ilegal, yang biasanya menjadi sasaran kritik kerasnya.

Ini bukan pertama kalinya Trump menyerang Schiff; Schiff telah lama menjadi musuh politik Trump sejak masa kepresidenannya. Dalam beberapa kesempatan, Trump secara langsung menuduh Schiff terlibat dalam penipuan pemilih, meskipun tidak ada bukti yang mendukung klaim tersebut.

Di sebuah rapat umum di California baru-baru ini, Trump kembali melontarkan serangan terhadap Schiff, bahkan mengejek penampilan fisiknya dan mengklaim bahwa Schiff lebih berbahaya daripada musuh asing seperti Presiden China Xi Jinping.

Trump mengatakan bahwa musuh terbesar Amerika adalah "musuh dari dalam," merujuk pada politisi seperti Schiff, yang dia sebut sebagai "orang rendah."

Baca Juga: Peringatan Keras Joe Biden ke Iran: Membunuh Trump akan Menjadi Tindakan Perang!

Reaksi Kamala Harris dan Partai Demokrat

Komentar Trump memicu reaksi keras dari kubu Demokrat, termasuk dari kampanye Kamala Harris. Dalam sebuah rapat umum di Pennsylvania, Harris mengecam Trump dengan memainkan cuplikan video dari wawancara Trump di Fox News.

Harris memperingatkan bahwa masa jabatan kedua Trump akan menjadi ancaman besar bagi demokrasi Amerika, menggambarkannya sebagai sosok yang semakin tidak stabil.

Selain Harris, Adam Schiff juga merespons melalui media sosial, menuduh Trump kembali menghasut kekerasan, seperti yang ia lakukan pada 6 Januari 2021, ketika massa menyerbu Capitol AS untuk menghentikan sertifikasi kemenangan Joe Biden. Schiff memperingatkan bahwa retorika Trump berpotensi memicu kekerasan lebih lanjut.

Peningkatan Kekhawatiran Terhadap Otoritarianisme

Pernyataan Trump mengenai penggunaan kekuatan militer terhadap lawan politik domestik menimbulkan kekhawatiran lebih luas tentang arah kepemimpinannya jika ia kembali menjabat sebagai presiden.

Baca Juga: Menakar Kemenangan Trum VS Kamala terhadap Harga Aset Kripto, Simak Analisanya

Seorang sejarawan dan pakar fasisme dari New York University, Ruth Ben-Ghiat, menyamakan pendekatan Trump dengan pemimpin otoriter seperti Viktor Orbán di Hongaria, Narendra Modi di India, dan Vladimir Putin di Rusia.

Ia menyebutkan bahwa Trump sedang "berlatih" untuk menjalankan pemerintahan dengan cara yang sangat mirip dengan para pemimpin otoriter tersebut. Kampanye Harris juga menyoroti bahaya dari rencana Trump untuk mendapatkan kekuasaan tanpa batas jika dia kembali terpilih.

Mereka mencatat bahwa Trump sebelumnya telah berjanji untuk menjadi "diktator pada hari pertama" masa jabatannya yang kedua dan bahkan pernah menyerukan penghapusan konstitusi untuk membatalkan hasil pemilihan 2020 yang dia klaim, tanpa dasar, telah dicurangi.

Editor: Handoyo .