Dorong Ketahanan Energi, Kapasitas PLTP Ditargetkan Mencapai 10,5 GW pada 2035



KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sumber energi panas bumi memiliki peran penting dalam mencapai ketahanan energi nasional. Pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP) nasional ditargetkan mencapai 10,5 GW pada 2035 mendatang. 

Direktur Utama PT Pertamina Geothermal Energy Tbk Julfi Hadi mengatakan, PGE berkomitmen untuk terus mengembangkan kapasitas PLTP guna memenuhi target yang telah ditetapkan.

Baca Juga: Target 20,9 GW, PLN Kini Garap 15,3 GW Pembangkit Energi Baru Terbarukan


Saat ini, Indonesia memiliki cadangan panas bumi terbesar kedua di dunia dengan potensi mencapai 23,7 GW, namun pemanfaatannya masih minim, hanya sekitar 2,2 GW. 

“Dalam dua hingga tiga tahun mendatang, PGE menargetkan peningkatan kapasitas 1 GW dan tambahan 1,5 GW pada 2030,” ujar Jufli dalam Webinar bertajuk "Peran Penting Industri Panas Bumi Dalam Kebijakan Transisi Energi dan Pencapaian Target Indonesia Emas 2045" yang diselenggarakan ReforMiner Institute pada Kamis (24/10).

Jufli menambahkan, PGE juga mengadopsi teknologi baru seperti pompa submersible listrik dan pengukur aliran dua fase untuk meningkatkan efisiensi operasional.

Investasi untuk mencapai target ini diperkirakan mencapai US$ 17 miliar hingga US$ 18 miliar, dengan kontribusi signifikan terhadap PDB nasional sebesar US$ 21 miliar hingga US$ 22 miliar.

Baca Juga: Pemanfaatan EBT Membutuhkan Investasi Jumbo

Dalam hal pengurangan emisi, lanjut Julfi, energi panas bumi memiliki potensi yang luar biasa. Dengan pengembangan yang tepat, energi panas bumi di Indonesia diperkirakan dapat mengurangi emisi gas rumah kaca tahunan sebesar 18-20 juta m³ CO?. 

“Komitmen ini tidak hanya mendukung transisi energi bersih, tetapi juga memberikan kontribusi langsung terhadap upaya global mengatasi perubahan iklim,” ujarnya. 

Sektor ini dapat menciptakan sekitar 1 juta pekerjaan baru, baik langsung maupun tidak langsung. Hal ini tentunya berdampak positif pada perekonomian nasional dan kesejahteraan masyarakat lokal di sekitar proyek panas bumi.

Baca Juga: Pangkas Izin biar Pengembangan Panas Bumi Cepat Panas

Namun, lanjut Julfi, tantangan yang dihadapi dalam pengembangan panas bumi tidaklah sedikit. Salah satu hambatan terbesar adalah risiko pengeboran, di mana hasil eksplorasi sering kali lebih rendah dari yang diharapkan.

Proses pengeboran hingga komersialisasi juga memakan waktu yang cukup lama, yakni 5 hingga 15 tahun. 

Selain itu, regulasi yang kompleks dan perizinan yang lambat menjadi kendala utama dalam menarik investasi di sektor ini. 

"Oleh karena itu, diperlukan dukungan kebijakan yang lebih fleksibel dan insentif yang memadai untuk mempercepat pengembangan energi panas bumi di Indonesia,” katanya.

Editor: Yudho Winarto